Kumpulan Cerita Dewasa Hot
Kumpulan Cerita Dewasa, ABG, Tante Hot
Saturday, 30 November 2013
Gairah Tante Vivi
Tante Vivi menyuruhku datang malam ini ke rumahnya. Sebenarnya agak malas juga dan khawatir, bagaimanapun saya lebih senang mengajak Selva, pacarku untuk menemani, ini membuatku ragu-ragu untuk berangkat.
9.15 malam: Aku masih ragu-ragu.., berangkat.., tidak.., berangkat.., tidak.
9.25 malam: Akhirnya Tante Vivi tanpa kuduga benar-benar menelepon, kebetulan aku sendiri yang menerima.
"Lho.., Ar.., kok kamu belum berangkat, bisa dateng tidak Ar?", tanyanya kendengaran agak kecewa.
"Mm.., gimana ya Tante.., agak gerimis nih di sini..", sahutku beralasan.
"Masa iya Ar.., yaah.., kalo gitu Tante jemput aja yaa..", balasnya seolah tak mau kalah. Aku jadi blingsatan dibuatnya.
"Waah.., tidak usah deh Tante.., okelah saya ke sana sekarang Tante.., mm Selva saya ajak ya Tante..", sahutku kemudian. Aku pikir ke sana malm-malam mau tidak mau akhirnya pasti harus nginap. Kalau ada Selva kan aku tidak begitu risih, masa aku bawa Selva pulang malam-malam. Tapi..
"iih.., jangan Ar.., Selva jangan diajak.., mm pokoknya ke sini aja dulu Ar.., yaa.., Tante tunggu.., Klik", sekali lagi seolah disengaja Tante Vivi langsung memutuskan hubungan. Sialan pikirku, dia mengerjaiku, ngapain malam-malam ke sana kaya tidak ada waktu siang atau pagi kek. Aku jadi kesal, ngapain Selva kemarin cerita kalau aku banyak ngerti masalah Komputer. Wuueek.., kaya pakar wae.., sekarang baru kena getahnya.
Akhirnya dengan perasaan malas, malam itu benar-benar agak gerimis, badanku sampai kedinginan terkena rintik air gerimis malam yang dingin
.Sekitar pukul 10.00 malam: Aku sampai juga di tempat Tante Vivi, suasana di komplek perumahan itu sudah sepi sekali, aku membuka pintu pagar yang sengaja belum dikunci dan kumasukkan sepeda motor ke dalam.
Belum sempat aku mengetuk pintu, ternyata Tante Vivi rupanya sudah mengetahui kedatanganku. Mungkin ia mendengar deru suara motorku ketika datang tadi.
"aahh.., akhirnya dateng juga kamu Ar..", katanya ramah dari balik pintu depan.
"Iya.., Tante..", sahutku berusaha ramah, bagaimanapun aku masih setengah kesal, sudah datang malam-malam kehujanan lagi.
"Agak gerimis ya Ar..", tanyanya seolah tak mau tau.
"Hsii..", Tanpa sadar aku terbersin.
"Eehh.., kamu Flu Ar..", tanyanya kemudian.
Aku mengusap wajah dan hidungku yang setengah lembab terkena air gerimis. Tante Vivi menarik tanganku masuk ke dalam dan menutup pintu."Klik..", sekaligus menguncinya. Aku tak begitu memperhatikanny a karena aku sendiri kuatir dengan kondisiku yang terasa agak meriang. Kuusap berulang kali wajahku yang dingin. Lalu tiba-tiba kurasakan sebuah telapak tangan yang hangat dan lembut membantu ikut mengusap pipi kananku.
"Pipimu dingin sekali Ar.., kamu pasti masuk angin yaa.., Tante bikinin susu jahe anget yaa..", sahutnya lembut. Aku menoleh dan astaga wajahnya itu begitu dekat sekali dengan mukaku."Duh.., cantiknya". Kulitnya yang putih mulus dan halus, matanya yang hitam bulat sedikit sipit dengan bentuk alisnya yang hitam memanjang tanpa celak, hidungnya yang kecil bangir, dan bentuk bibirnya yang menawan tanpa lipstik. Terlihat sedikit tebal dan begitu ranum. Sexy sekali bibirnya. Tante Vivi tersenyum kecil melihatku setengah melongo.
"Kamu duduk dulu Ar.., Tante ke belakang dulu..", sahutnya pelan.
Tanpa menunggu jawabanku, ia membalikkan tubuh dan bergegas berjalan melintasi ruang tengah menuju ke belakang. Tubuhnya yang tingginya mungkin sekitar 160 cm kelihatan begitu seksi ramping dan padat. Sempat kulihat langkah kakinya yang berjalan sangat elok, saat itu kuingat jelas ia memakai celana Jeans putih ketat serta memakai baju kemeja halus berwarna merah muda dan dibiarkan berada di luar celana. Baju yang dikenakannya seperti umumnya baju kemeja sekarang yang relatif panjang, membuat celana jeans yang dikenakannya tertutup sampai ke atas paha. Namun karena sifatnya yang lemas, membuat bajunya itu seolah menempel ketat pada bentuk tubuhnya yang memang sangat seksi dan montok. Pinggulnya yang bulat padat bergoyang indah kekiri dan kanan. Begitu gemulai bagai penari Jaipong.
Kuhempaskan pantatku dengan perasaan lelah di atas sofa empuk ruang tamunya. Aku memandang ke sekeliling ruangan tamunya yang cukup mewah. Lukisan besar pemandangan alam bergaya naturalis tergantung di atas tembok persis di belakang tempat dudukku. Selebihnya berupa lukisan-lukisan naturalis sederhana yang berbingkai kecil dan sedang tentang suasana kehidupan pulau Bali. Aku tak begitu tertarik dengan lukisan, sehingga aku tak sampai mengamati lama-lama.
Sepuluh menit kemudian, Tante Vivi muncul dengan segelas besar susu jahe yang masih kelihatan panas, karena asapnya masih terlihat mengepul. Dengan wajah cerah dan senyum manis bibirnya yang menggemaskan, mau tak mau aku jadi ikutan senang.
"Waah.., asiik nih kelihatannya.., wangi lagi baunya.., mm..", kataku spontan.
"Pelan-pelan Ar.., masih panas..", sahutnya pendek, sambil memberikan minuman jahe itu kepadaku. Lalu tanpa risih ia duduk di sebelahku. Aku jadi deg-degan juga.
"Gimana kuliah Selva Ar.., kapan nih rencana mau majunya..", tanya Tante Vivi kemudian.
"Entah Tante.., setahu saya sih bulan depan ini dia harus menyelesaikan seluruh asistensi skripsinya. Soal maju ujian skripsi saya kurang tau Tante..", sahutku polos.
"iih.., kamu ini gimana sih Ar.., pacarnya sendiri kok tidak tahu, asyiik pacaran aja yaa rupanya..", ujar Tante Vivi setengah bercanda.
"aah.., Tau aja Tante.., tidak salah..", sahutku sambil ketawa nyaring.
"Kamu menyukai dia Ar..", tanya Tante Vivi kemudian, seolah setengah malas menanggapi candaku.
"Waah.., Tante ini gimana sih.., ya jelas dong Tante.., lagipula sekarang kami sudah sangat serius menjalin hubungan ini.., saya mencintainya Tante..", sahutku sedikit serius.
Tante Vivi tersenyum kepadaku, giginya yang putih bersih terawat kelihatan indah, serasi dengan bentuk bibirnya yang tak terlalu lebar.
"Tidak Ar.., Tante khan cuman nanya.., soalnya Tante lihat Selva sayang sekali sama kamu..", ujarnya kemudian.
"Jangan kuatir deh Tante..", sahutku pelan sambil mulutku mulai menyeruput wedang susu jahe bikinannya itu. Terasa sedikit pedas di bibir namun hangat manis di lidah dan kerongkonganku.
"Komputernya di taruh mana Tante..", tanyaku tanpa memandangnya sambil terus seteguk demi seteguk menghabiskan minumanku.
"Tuh.., di kamar kerja Tante..", sahutnya pendek. Sejenak aku meletakkan minuman dan memandang Tante Vivi yang berada di sebelahku.
"Lalu tunggu apalagi nih..", ujarku setengah bercanda.
"Apanya..?", tanya Tante Vivi seakan tak mengerti. Pandangan matanya kelihatan sedikit bingung.
"Lhoh.., katanya pengen diker.., eeh diajarin..", lanjutku. Hampir aja aku kelepasan ngomong ngeres, jantungku sampai kaget sendiri dag-dig-dug tidak karuan. Untung tidak kebablasan ngomomg.
"ooh.., iya.., aduuh Tante sampai kaget.., Yuk ke kamar Ar..", sahutnya sambil mencolek lenganku. Kami berdiri dan berjalan beriringan ke tempat yang ia maksud. Kami melintasi ruangan tengah yang lebih lapang dan mewah. Kulihat sebuah meja pendek tempat dudukan pesawat Televisi ukuran besar mungkin sekitar 51 inchi lengkap dengan satu set sound systemnya sekaligus berada di sebelah kiri ruang itu. Sedangkan kami menuju ke sebuah ruangan di sebelah kanan yang pintunya sudah setengah terbuka. Tante Vivi menyilahkanku masuk duluan.
"Masuk Ar.., sorry ruangannya agak berantakan..", ujarnya sambil memberi jalan. Aku masuk dulu kedalam ruangan diikuti Tante Vivi. Ruangan atau kamar itu cukup besar berukuran 5 x 7 meter dan pada umumnya tampak rapi walau masih ada sedikit acak-cakan karena di atas lantai persis di depan tempatku berdiri yang terhampar sebuah karpet berukuran sedang tampak berserakan beberapa majalah wanita yang halamannya masih terbuka disana-sini. Di depannya ada sebuah meja kerja yang cukup besar, dan di atas meja terdapat beberapa buah buku kecil dan agenda kerja, selain itu terlihat 2 kardus besar dan beberapa kardus kecil yang aku sudah hapal bentuk dan cirinya, apalagi pada kardus besar yang berbentuk kotak itu terdapat tulisan besar GoldStar Monitor. Ketika aku menengok ke sebelah kiri, waah.., ternyata di situ terdapat sebuah ranjang berukuran sedang. Kasurnya jelas Spring Bed yang terlihat dari ukurannya yang tebal, tertutup dengan sprei berwarna merah jambu. Bantalnya bertumpuk rapi di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Di sebelah kiri tempat tidur terdapat sebuah meja kecil dan seperangkat mini stereo.
"Waduuh.., ini tempat kerja apa kamar Tante..?", tanyaku heran dan kagum. Bagiku ruangan selapang ini terlalu besar untuk kamar tidur. Kamarku sendiri yang berukuran 3x4 meter aja menurutku sudah gede, apalagi sebesar ini.
"Dua-duanya Ar.., ya kamar kerja ya.., tempat tidur.., mm.., Tante khan cuman sendirian di rumah ini Ar..", sahut Tante Vivi yang berada di sebelah kananku.
"Sendirian.., maksud Tante?", tanyaku kepadanya tak mengerti.
"Lhoh.., apa Selva tidak pernah bilang sama kamu.., Tante khan.., sudah bercerai Ar..", sahutnya kemudian. Kedengaran sekali kalimat terakhir yang diucapkannya sedikit terpatah-patah.
Astaga.., seruku dalam hati. Pantas, seolah baru menyadari. Selama ini aku tak pernah ingat apalagi menanyakan tentang suami Tante Vivi ini. Jadi selama ini Tante Vivi itu seorang Janda. Ya ampuun.., kenapa aku tak menyadari sejak semula. Semenjak pertama kali aku datang ke sini bersama Selva, memang aku tak melihat orang lain lagi selain Inem pembantunya. Waktu itu kupikir suaminya sedang bekerja. Pantas ketika aku datang tadi hanya Tante Vivi sendirian yang menyambutku. Jadii.., hatiku jadi setengah grogi juga. Aku jadi teringat tentang beberapa kisah nyata di majalah yang pernah kubaca tentang kehidupan seorang janda muda, terutama sekali mengenai soal seks. Pada umumnya katanya mereka sangat mudah dirayu dan tak jarang juga pintar merayu. Jangan-jangan.. , pikirku mulai ngeres lagi.
"ooh.., maaf Tante saya baru tahu sekarang..", ujarku lirih sejenak kemudian. Tante Vivi tersenyum kecil.
"Udahlah Ar.., itu masa lalu.., tidak usah diungkit lagi..", ujarnya setengah menghindar. Terlihat ada setetes air menggenang di pelupuk kedua matanya yang indah.
Sedetik kemudian ia sengaja memalingkan mukanya dari tatapanku, mungkin ia tak ingin terlihat sedih di depanku. Kemudian ia berjalan ke depan dan setengah berjongkok memunguti semua majalah yang masih berserakan di atas karpet, spontan aku segera menyusul hendak membantunya.
"Sini Ari bantu Tante..", kataku pendek. Tanpa menoleh ke arahnya aku langsung nimbrung mengumpulkan majalah yang masih tersisa.
"iih sudah Ar.., tidak usah.., kok kamu ikutan repot..", sahutnya. Kali ini wajahnya kulihat sudah cerah kembali. Bibirnya yang ranum setengah terbuka menyunggingkan sebuah senyuman manis. Manis sekali. Aku sempat terpana selama 2 detik.
"Tante tidak menikah lagi..?", tanyaku padanya tanpa sadar. Sedikit kaget juga aku dengan pertanyaanku, jangan-janga ia marah atau sedih kembali. Namun ternyata tidak, sambil tetap tersenyum ia balik bertanya.
"Siapa yang mau sama aku Ar..?"
"aah.., Ari kira banyak Tante.."
"Siapaa..?"
"Ari juga mau Tante..", kataku cuek, karena maksudku memang bercanda. Ia mendelik lalu sambil setengah ketawa tangannya mencubit lenganku sekaligus mendorongku ke samping.
"Hik.., hik.., kamu ini ada-ada aja Ar.., jangan nyindir gitu dong Ar, memangnya gampang cari laki-laki jaman sekarang..", ujarnya. Lalu kulihat ia terduduk diam seribu bahasa. Aku jadi heran sekaligus geli melihatnya melamun sambil memegangi majalah.
"Kenapa Tante..", tanyaku padanya. Tante Vivi sedikit kaget mendengar pertanyaanku. Namun sambil tersenyum kecut ia hanya menjawab pendek.
"Sudahlah Ar.., jangan bicara masalah itu..". Akupun tak mengubernya walau sebenarnya masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi dulu dengan perceraiannya.
Singkat cerita, malam itu aku hanya menghabiskan waktu sekitar 20 menit untuk merakit komputer barunya. Untung saja Tante Vivi membeli komputer jenis Build Up sehingga aku tak perlu untuk memeriksa 2 kali, cuman periksa tegangan input, tinggal sambung kabel ke monitor dan CPU, pasang external modem, pasang speaker aktifnya ke output soundcard, sambung ke stavolt.., sudah beres.
"Sudah beres Tante.., mm.., mau sambung ke internet..?", tanyaku puas. Agak keringetan juga rasanya mukaku, walau cuman sekedar sambung sana-sini.
"aah masa..?, secepat itu Ar..?", tanya Tante Vivi yang sejak tadi juga tak pernah beranjak dari sebelah kananku, asyik melihatku bekerja.
"Lha.., iya.., gampang khan..", sahutku pendek. Kupandangi wajah cantiknya yang setengah melongo seolah tak yakin.
"Makanya dicoba dulu dong Tante.., biar tidak nanya-nanya lagi.., mana nih stop kontaknya", tanyaku kemudian.
"iih.., hik.., hik.., gitu aja sewot.., jahat kamu Ar.., hik.., hik.., ehem.., itu ada di belakang meja sebelah bawah Ar..", jawabnya sambil setengah tertawa kecil.
Aku melongok ke bawah meja.., astaga di bawah situ berarti mestinya aku harus merangkak di situ.., sejenak aku melongo.
"Kenapa Ar..?"
"Ooh tidak Papa Tante..".
Akhirnya mau tak mau akhirnya aku harus merangkak masuk ke bawah meja kerjanya yang cukup besar itu sambil tangan kananku menarik kabel power CPU-nya ke bawah. Pengap juga di bawah situ karena memang agak remang, maklum penerangan di kamar ini hanya cuma menggunakan sebuah lampu bohlam sekitar 100 Watt, sinarnya kurang kuat di bawah sini. Sedang lampu meja kerja terpaksa dimatikan untuk stroom komputer. Setelah terpasang ke stop kontak, sambil setengah merangkak mundur aku langsung membalikkan tubuh dan astaga.., aku terhenyak kaget karena melihat Tante Vivi ikut juga melongok membungkuk ke bawah meja, tanpa disengaja kedua mataku menyaksikan pemandangan vulgar yang luar biasa indah.
Woow, Tante Vivi dengan posisi tubuh seperti itu membuat baju kemejanya yang sedikit gombrong dan karena jenis kainnya yang sangat lemas membuatnya jadi merosot ke bawah pas dibagian dada, apalagi kancing kemejanya yang sedikit rendah, membuat kedua bulatan payudaranya yang sangat besar dan berwarna putih terlihat menggantung bak buah semangka, diantara keremangan aku masih dapat melihat dengan sangat jelas betapa indah kedua bongkah susunya yang kelihatan begitu sangat montok dan kencang. Samar kulihat kedua puting mungilnya yang berwarna merah kecoklatan."Yaa aammpuunn..", bisikku lirih tanpa sadar,"Ia tidak pake Behaa.."
Tante Vivi semula tak menyadari apa yang terjadi dan apa yang sedang kupelototi, 5 detik saja.., bagiku itu sudah cukup lama, Tante Vivi seolah baru menyadari ia menjerit lirih.
"iih..", serunya lirih. Masih dalam posisi membungkuk, tangan kanannya reflek menarik bajunya sampai ke atas leher, setengah pucat ia memandangku lalu berdiri dan mundur 1 langkah. Sudah telanjur, percuma kalau malu, akhirnya dengan cuek aku merangkak ke luar dan berdiri di hadapannya, sambil senyam-senyum seolah tidak salah, akhirnya aku minta maaf juga kepadanya.
"Maaf Tante.., sa.., Ari tidak sengaja..", ujarku cuek. Tante Vivi masih dengan sedikit pucat, akhirnya hanya bisa tersenyum kecil. Wajahnya kelihatan memerah.
"Sudahlah.., Ar..", sahutnya pendek. Dalam hati aku berbisik, lumayan dapat tontonan susu gede gratiss.
Bersambung . . .
Aku Dipuaskan Hewan Asuhanku
Namaku Natalia, panggilanku Lia namun banyak juga yang menyapaku Nat.
Usiaku 28 tahun dengan tinggi badan 170 cm. Sehari-hari aku magang di
Kebun Binatang Surabaya (KBS) sesuai dengan statusku sebagai dokter
hewan lulusan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Aku bukanlah satu-satunya dokter hewan di KBS, masih ada empat orang dokter hewan lainnya dan aku termasuk yang paling muda di antara mereka. Hanya ada seorang dokter hewan cowok di KBS, dan aku paling cantik di antara ketiga dokter hewan cewek yang bertugas di KBS.
Walau usiaku paling muda di antara mereka namun aku tetap masih kalah lincah bila dibandingkan dengan mereka. Bukannya karena fisikku cacat namun dikarenakan busana yang kukenakan sehari-hari membuatku tidak selincah mereka yang menggunakan celana panjang selama bertugas sehari-hari. Aku tidak terbiasa memakai celana panjang sehingga penampilanku memang jadi terkesan feminin sekali.
Sehari-hari aku terbiasa memakai rok mini yang bawahannya lebar sedangkan bagian atasan aku lebih suka memakai T Shirt tanpa lengan yang lebih cocok disebut singlet. Namun kalau saat bertugas aku lebih suka memakai hem longgar lengan pendek, karena kalau aku menggunakan T Shirt tanpa lengan waktu bekerja, selain terlihat kurang sopan, juga bisa membuat orang lain khususnya cowok rekan kerjaku tidak bisa bekerja dengan tenang.
Kegemaranku berpakaian ini disebabkan karena keseharianku yang selalu tampil tanpa BH. Memang sejak kecil aku tidak terbiasa dan tidak suka memakai BH hingga saat ini kebiasaan tersebut masih terbawa-bawa, dan jangan heran kalau sampai dengan saat ini pun aku sendiri tidak mengetahui ukuran payudaraku yang montok dan sintal, karena aku memang tidak pernah membeli BH. Bentuk payudaraku memang indah dan ranum walaupun ukurannya sedang-sedang saja. Warna puting susuku yang merah muda dan sedikit kecoklatan ini membuatku lebih percaya diri walau tidak pernah mengenakan BH.
Koleksi CD-ku cukup banyak dengan aneka warna, namun modelnya hanya dua macam, yaitu model G String dan model berenda yang mini sekali. Antara kedua model itu bentuknya sama satu sama lain, hanya saja yang satu terbuat dari seutas tali nylon dan yang yang satu lagi terbuat dari renda yang lebarnya tak lebih dari sebuah jari saja. Cara mengenakannya cukup dilingkarkan di pinggangku, kecuali yang G String ada ikatannya di sisi kanan kiri pinggangku. Selebihnya tersambung di bagian belakang pinggang terus turun ke bawah melalui celah belahan pantatku, melilit melewati selangkanganku, terus ke depan dan tersambung dengan secarik kain sutera tipis berbentuk segi tiga yang hanya berfungsi menutupi liang vaginaku hingga bulu-bulu kemaluanku tidak mampu tertampung semua. Ujung-ujungnya yang lembut tersembul keluar dan terkadang menimbulkan rasa geli saat aku melangkah karena ujung-ujung bulu kemaluanku itu tadi menggesek-gesek lipatan pangkal pahaku. Tak jarang aku juga merasakan kalau lipatan ujung CD-ku agar tergesek ke samping saat kukenakan dan akibatnya sebelah bibir vaginaku jadi tersembul keluar, untung saja masih ada rok miniku yang menutupinya.
Dengan model penampilanku yang demikian, aku tidak bisa berkeliling area KBS naik sepeda seperti rekan-rekanku lainnya. Saat mengontrol dari satu kandang ke kandang lainnya, aku terpaksa harus tetap berjalan kaki saja, sekalian agar sehat, pikirku. Namun apa bila ada panggilan yang bersifat emergency, dari kandang yang agak jauh dari klinik apa bila ada hewan yang sakit maka mau tidak mau aku harus bergegas juga dengan menggunakan sepeda yang memang telah disediakan untuk transportasi petugas di dalam KBS. Tentunya yang senang adalah para pengasuh hewan (keeper) yang berjaga di kandang-kandang yang kulewati, termasuk para pengunjung dan pemilik kios dimana aku lewat, karena mereka dapat tontonan gratis melihat pahaku yang mulus terbuka lebar saat aku mengayuh sepeda melintasi mereka.
Itulah sedikit ilustrasi tentang diriku, yang kuceritakan kembali untuk mengawali kisahku yang baru ini.
Sudah tiga bulan ini aku mendapat tugas mengasuh dua ekor anak singa yang baru saja melahirkan tapi induknya enggan mengasuh anaknya sehingga kami para tim medis memutuskan agar anak singa tersebut segera dipisah dari induknya dan dirawat di ruang karantina yang letaknya berhadap-hadapan dengan klinik kesehatan hewan.
Mungkin karena dianggap paling yunior di antara mereka, maka oleh para dokter hewan senior aku ditugaskan mengasuh dan memberikan susu pada kedua bayi singa tersebut. Tugasku adalah memberikan susu setiap dua jam sekali, termasuk menggendongnya keluar untuk berjemur setiap pagi. Maka tak heranlah kedua anak singa ini menjadi sangat manja dan jinak sekali denganku.
Saat ini kedua anak singa tersebut usianya sudah tiga bulan dan frekwensiku memberikan susu pun jaraknya sudah mulai berkurang, sekarang sudah menjadi setiap empat jam sekali tetapi volume susu yang diminumnya juga sudah lebih banyak lagi. Keduanya tumbuh sehat dan juga sudah bisa meloncat sana sini sambil berlari kecil dengan riangnya. Waktuku belakangan ini jadi lebih banyak tersita untuk berada di ruang karantina merawat kedua bayi singa yang lucu ini.
Kalau pada awal-awalnya aku harus memangku mereka dan memberikan minum susu dari dot, kini mereka sudah bisa minum sendiri dari mangkuk yang kusodorkan. Keduanya langsung menjilati isi mangkuk dengan rakusnya, tak butuh waktu lama untuk menghabiskan semangkuk susu yang kuberikan.
Pagi ini aku seperti biasanya begitu sampai di KBS langsung datang ke ruang karantina untuk mengunjungi dua ekor singa anak asuhku. Mereka meloncat kesana kemari dengan gembiranya menyambut kedatanganku. Langsung saja kubuatkan susu yang kuseduh dengan air hangat dan kuletakkan dalam mangkuk kemudian kusodorkan pada mereka. Sambil berjongkok di hadapan mereka, kuperhatikan keduanya melalap habis susu dalam mangkuk yang kuberikan, dan dalam waktu sekejap saja mereka telah menjilat habis susu itu.
Lalu keduanya memandangku seakan ingin minta tambah. Dan matanya kemudian memandang heran ke selangkanganku yang terbuka saat aku berjongkok. Mungkin mereka terheran-heran melihat gundukan daging yang tersembul di tengah-tengah pangkal pahaku. Naluri ingin tahunya sangat kuat hingga mereka merangkak maju dan mengenduskan hidungnya di selangkanganku. Hidungnya mendekati dan mencium bagian luar vaginaku hingga dapat kurasakan hembusan napasnya yang menerpa lipatan pangkal pahaku.
Aku sedikit ragu dan ingin segera berdiri, namun niatku segera kuurungkan saat terasa ada sesuatu yang kasar dan lunak mengelus bagian luar vaginaku. Rupanya si anak singa tadi menjilati CD-ku sebagai perwujudan rasa ingin tahunya. Hal ini membuatku terangsang karena jilatan tadi ternyata menyentuh sebelah bibir vaginaku yang kebetulan menyembul keluar dari ujung lipatan secarik kain sutera yang menutupi bagian liang vaginaku itu.
Pelan-pelan tanganku memasuki rok miniku untuk melepas ikatan CD di samping kiri kanan pinggangku. Rok miniku dengan bawahan longgar itu terbuka lebar saat aku berjongkok sehingga tidak menyulitkanku untuk melakukan aktifitas tersebut. Dengan sekali tarik maka terlepaslah sudah dan penutup vaginaku pun tertanggal begitu saja.
Kedua ekor anak singa itu tetap berebutan menjilati sekitar selangkanganku. Secara bergantian mereka menjilati pangkal pahaku, dan yang paling disukainya adalah menjilati bagian vaginaku yang langsung membasah karena aku begitu terangsang oleh jilatannya.
Aku sudah tidak mampu untuk berjongkok lebih lama lagi hingga aku pun terjengkang duduk di lantai. Lama kelamaan aku pun sedikit merebahkan badanku. Pinggangku kujadikan tumpuan untuk menumpu tubuhku, kakiku kuangkat dengan bantuan tanganku di pangkal lutut. Kukangkangkan selebar mungkin untuk memberikan sedikit ruang gerak agar kedua ekor anak singa ini lebih leluasa lagi menjilati sekitar selangkanganku.
Cairan bening yang terus mengalir keluar dari dalam liang vaginaku membuat keduanya lebih rakus lagi menjilati bagian luar vaginaku, mungkin karena rasanya yang sedikit asin hingga membuat mereka berdua lebih bergairah, karena secara teoretis semua hewan suka merasakan sesuatu yang rasanya sedikit asin.
Kuletakkan kedua kakiku di lantai dengan posisi tetap mengangkang sedangkan tangan kiriku menopang ke lantai agar badanku tidak terjengkang di lantai sementara tangan kananku membuka kancing bagian atas hemku yang longgar. Tanganku kususupkan ke dalam hemku meraih dan meremas payudaraku yang sudah mengeras pertanda birahiku sudah mencapai puncaknya.
Kupilin-pilin puting susuku dengan jari sehingga aku menggelinjang dan bulu kuduk di belakang leherku seakan berdiri semua rasanya. Sementara itu kedua ekor anak singa ini terus menerus secara bergantian menjilati vaginaku yang sudah sejak tadi tanpa ditutupi oleh sehelai benang pun. Lidahnya yang kasar tetapi lunak itu menjilati bibir-bibir vaginaku dari bawah hingga ke atas secara teratur. Tak jarang jilatannya yang mengandung sedikit tekanan ke vaginaku ini mengenai ujung-ujung klitorisku.
"Hzz.. Zzt! Hzz.. Zzt! Hzz.. Zzt!" Hanya suara itu yang bisa keluar dari mulutku berulang-ulang menahan gejolak kenikmatan yang mengalir dari pangkal pahaku, terus mengalir ke atas sampai ke ubun-ubun kepalaku.
Aku sudah pernah mendapatkan jilatan di vaginaku, namun jilatan yang kurasakan kali ini lain dari pada yang lain. Lidah-lidah anak singa ini lemas, lunak dan sedikit kasar saat menyentuh bibir vagina dan ujung klitorisku. Tiba-tiba ada semacam ledakan dahsyat di bagian pangkal pahaku. Badanku tiba-tiba menggigil dan sedikit kejang, diiringi tumpahnya lahar pelumasku keluar dari dalam rahim menuju ke liang vaginaku.
Tzee.. Eerrt! Tzee.. Eerrt! Tzee.. Eerrt! Aku dapat merasakan semburan lahar hangat yang deras sekali hingga merembes keluar menembus melalui lubang vaginaku. Cairan lendir pelumasku serta merta langsung saja dijilat oleh kedua ekor anak singa ini bergantian. Dengan rakusnya mereka menjilati vaginaku hingga tetes terakhir hingga vaginaku menjadi bersih dan kering kembali.
Aku menarik napas panjang melepas sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kualami. Aku tanpa sengaja mendapatkan suatu pengalaman baru dalam menyalurkan hasrat sex-ku, mungkin tidak semua wanita di dunia ini beruntung dapat mengalami dan merasakan hal-hal yang pernah kualami dalam dunia kenikmatan sex.
Aku pun tahu bahwa seandainya pengalamanku ini kuceritakan di situs 17Tahun2.com pasti banyak pembaca yang tidak akan percaya begitu saja dengan pengalamanku yang satu ini. Namun bagiku itu tidak penting, yang penting bagiku adalah bagaimana aku bisa berbagi dengan menceritakan pengalamanku dengan apa adanya lewat situs ini.
Aku pun tidak berani mencoba-coba untuk mengulangi peristiwa itu lagi, karena kedua anak singa ini walau bagaimanapun juga mereka tetap termasuk dalam golongan binatang buas pemakan daging. Aku khawatir bahwa pada suatu saat kelak tanpa kusadari akan ada bagian di selangkanganku yang iritasi karena jilatannya. Hal ini akan berbahaya sekali karena biasanya binatang buas paling tidak tahan mencium bau darah, mereka akan jadi beringas dan penciuman mereka cukup tajam untuk hal yang satu itu.
*****
Demikianlah salah satu pengalaman dan petualangan seks unikku dalam menyalurkan hasrat saat berada di tempat kerja.
TAMAT
Aku bukanlah satu-satunya dokter hewan di KBS, masih ada empat orang dokter hewan lainnya dan aku termasuk yang paling muda di antara mereka. Hanya ada seorang dokter hewan cowok di KBS, dan aku paling cantik di antara ketiga dokter hewan cewek yang bertugas di KBS.
Walau usiaku paling muda di antara mereka namun aku tetap masih kalah lincah bila dibandingkan dengan mereka. Bukannya karena fisikku cacat namun dikarenakan busana yang kukenakan sehari-hari membuatku tidak selincah mereka yang menggunakan celana panjang selama bertugas sehari-hari. Aku tidak terbiasa memakai celana panjang sehingga penampilanku memang jadi terkesan feminin sekali.
Sehari-hari aku terbiasa memakai rok mini yang bawahannya lebar sedangkan bagian atasan aku lebih suka memakai T Shirt tanpa lengan yang lebih cocok disebut singlet. Namun kalau saat bertugas aku lebih suka memakai hem longgar lengan pendek, karena kalau aku menggunakan T Shirt tanpa lengan waktu bekerja, selain terlihat kurang sopan, juga bisa membuat orang lain khususnya cowok rekan kerjaku tidak bisa bekerja dengan tenang.
Kegemaranku berpakaian ini disebabkan karena keseharianku yang selalu tampil tanpa BH. Memang sejak kecil aku tidak terbiasa dan tidak suka memakai BH hingga saat ini kebiasaan tersebut masih terbawa-bawa, dan jangan heran kalau sampai dengan saat ini pun aku sendiri tidak mengetahui ukuran payudaraku yang montok dan sintal, karena aku memang tidak pernah membeli BH. Bentuk payudaraku memang indah dan ranum walaupun ukurannya sedang-sedang saja. Warna puting susuku yang merah muda dan sedikit kecoklatan ini membuatku lebih percaya diri walau tidak pernah mengenakan BH.
Koleksi CD-ku cukup banyak dengan aneka warna, namun modelnya hanya dua macam, yaitu model G String dan model berenda yang mini sekali. Antara kedua model itu bentuknya sama satu sama lain, hanya saja yang satu terbuat dari seutas tali nylon dan yang yang satu lagi terbuat dari renda yang lebarnya tak lebih dari sebuah jari saja. Cara mengenakannya cukup dilingkarkan di pinggangku, kecuali yang G String ada ikatannya di sisi kanan kiri pinggangku. Selebihnya tersambung di bagian belakang pinggang terus turun ke bawah melalui celah belahan pantatku, melilit melewati selangkanganku, terus ke depan dan tersambung dengan secarik kain sutera tipis berbentuk segi tiga yang hanya berfungsi menutupi liang vaginaku hingga bulu-bulu kemaluanku tidak mampu tertampung semua. Ujung-ujungnya yang lembut tersembul keluar dan terkadang menimbulkan rasa geli saat aku melangkah karena ujung-ujung bulu kemaluanku itu tadi menggesek-gesek lipatan pangkal pahaku. Tak jarang aku juga merasakan kalau lipatan ujung CD-ku agar tergesek ke samping saat kukenakan dan akibatnya sebelah bibir vaginaku jadi tersembul keluar, untung saja masih ada rok miniku yang menutupinya.
Dengan model penampilanku yang demikian, aku tidak bisa berkeliling area KBS naik sepeda seperti rekan-rekanku lainnya. Saat mengontrol dari satu kandang ke kandang lainnya, aku terpaksa harus tetap berjalan kaki saja, sekalian agar sehat, pikirku. Namun apa bila ada panggilan yang bersifat emergency, dari kandang yang agak jauh dari klinik apa bila ada hewan yang sakit maka mau tidak mau aku harus bergegas juga dengan menggunakan sepeda yang memang telah disediakan untuk transportasi petugas di dalam KBS. Tentunya yang senang adalah para pengasuh hewan (keeper) yang berjaga di kandang-kandang yang kulewati, termasuk para pengunjung dan pemilik kios dimana aku lewat, karena mereka dapat tontonan gratis melihat pahaku yang mulus terbuka lebar saat aku mengayuh sepeda melintasi mereka.
Itulah sedikit ilustrasi tentang diriku, yang kuceritakan kembali untuk mengawali kisahku yang baru ini.
Sudah tiga bulan ini aku mendapat tugas mengasuh dua ekor anak singa yang baru saja melahirkan tapi induknya enggan mengasuh anaknya sehingga kami para tim medis memutuskan agar anak singa tersebut segera dipisah dari induknya dan dirawat di ruang karantina yang letaknya berhadap-hadapan dengan klinik kesehatan hewan.
Mungkin karena dianggap paling yunior di antara mereka, maka oleh para dokter hewan senior aku ditugaskan mengasuh dan memberikan susu pada kedua bayi singa tersebut. Tugasku adalah memberikan susu setiap dua jam sekali, termasuk menggendongnya keluar untuk berjemur setiap pagi. Maka tak heranlah kedua anak singa ini menjadi sangat manja dan jinak sekali denganku.
Saat ini kedua anak singa tersebut usianya sudah tiga bulan dan frekwensiku memberikan susu pun jaraknya sudah mulai berkurang, sekarang sudah menjadi setiap empat jam sekali tetapi volume susu yang diminumnya juga sudah lebih banyak lagi. Keduanya tumbuh sehat dan juga sudah bisa meloncat sana sini sambil berlari kecil dengan riangnya. Waktuku belakangan ini jadi lebih banyak tersita untuk berada di ruang karantina merawat kedua bayi singa yang lucu ini.
Kalau pada awal-awalnya aku harus memangku mereka dan memberikan minum susu dari dot, kini mereka sudah bisa minum sendiri dari mangkuk yang kusodorkan. Keduanya langsung menjilati isi mangkuk dengan rakusnya, tak butuh waktu lama untuk menghabiskan semangkuk susu yang kuberikan.
Pagi ini aku seperti biasanya begitu sampai di KBS langsung datang ke ruang karantina untuk mengunjungi dua ekor singa anak asuhku. Mereka meloncat kesana kemari dengan gembiranya menyambut kedatanganku. Langsung saja kubuatkan susu yang kuseduh dengan air hangat dan kuletakkan dalam mangkuk kemudian kusodorkan pada mereka. Sambil berjongkok di hadapan mereka, kuperhatikan keduanya melalap habis susu dalam mangkuk yang kuberikan, dan dalam waktu sekejap saja mereka telah menjilat habis susu itu.
Lalu keduanya memandangku seakan ingin minta tambah. Dan matanya kemudian memandang heran ke selangkanganku yang terbuka saat aku berjongkok. Mungkin mereka terheran-heran melihat gundukan daging yang tersembul di tengah-tengah pangkal pahaku. Naluri ingin tahunya sangat kuat hingga mereka merangkak maju dan mengenduskan hidungnya di selangkanganku. Hidungnya mendekati dan mencium bagian luar vaginaku hingga dapat kurasakan hembusan napasnya yang menerpa lipatan pangkal pahaku.
Aku sedikit ragu dan ingin segera berdiri, namun niatku segera kuurungkan saat terasa ada sesuatu yang kasar dan lunak mengelus bagian luar vaginaku. Rupanya si anak singa tadi menjilati CD-ku sebagai perwujudan rasa ingin tahunya. Hal ini membuatku terangsang karena jilatan tadi ternyata menyentuh sebelah bibir vaginaku yang kebetulan menyembul keluar dari ujung lipatan secarik kain sutera yang menutupi bagian liang vaginaku itu.
Pelan-pelan tanganku memasuki rok miniku untuk melepas ikatan CD di samping kiri kanan pinggangku. Rok miniku dengan bawahan longgar itu terbuka lebar saat aku berjongkok sehingga tidak menyulitkanku untuk melakukan aktifitas tersebut. Dengan sekali tarik maka terlepaslah sudah dan penutup vaginaku pun tertanggal begitu saja.
Kedua ekor anak singa itu tetap berebutan menjilati sekitar selangkanganku. Secara bergantian mereka menjilati pangkal pahaku, dan yang paling disukainya adalah menjilati bagian vaginaku yang langsung membasah karena aku begitu terangsang oleh jilatannya.
Aku sudah tidak mampu untuk berjongkok lebih lama lagi hingga aku pun terjengkang duduk di lantai. Lama kelamaan aku pun sedikit merebahkan badanku. Pinggangku kujadikan tumpuan untuk menumpu tubuhku, kakiku kuangkat dengan bantuan tanganku di pangkal lutut. Kukangkangkan selebar mungkin untuk memberikan sedikit ruang gerak agar kedua ekor anak singa ini lebih leluasa lagi menjilati sekitar selangkanganku.
Cairan bening yang terus mengalir keluar dari dalam liang vaginaku membuat keduanya lebih rakus lagi menjilati bagian luar vaginaku, mungkin karena rasanya yang sedikit asin hingga membuat mereka berdua lebih bergairah, karena secara teoretis semua hewan suka merasakan sesuatu yang rasanya sedikit asin.
Kuletakkan kedua kakiku di lantai dengan posisi tetap mengangkang sedangkan tangan kiriku menopang ke lantai agar badanku tidak terjengkang di lantai sementara tangan kananku membuka kancing bagian atas hemku yang longgar. Tanganku kususupkan ke dalam hemku meraih dan meremas payudaraku yang sudah mengeras pertanda birahiku sudah mencapai puncaknya.
Kupilin-pilin puting susuku dengan jari sehingga aku menggelinjang dan bulu kuduk di belakang leherku seakan berdiri semua rasanya. Sementara itu kedua ekor anak singa ini terus menerus secara bergantian menjilati vaginaku yang sudah sejak tadi tanpa ditutupi oleh sehelai benang pun. Lidahnya yang kasar tetapi lunak itu menjilati bibir-bibir vaginaku dari bawah hingga ke atas secara teratur. Tak jarang jilatannya yang mengandung sedikit tekanan ke vaginaku ini mengenai ujung-ujung klitorisku.
"Hzz.. Zzt! Hzz.. Zzt! Hzz.. Zzt!" Hanya suara itu yang bisa keluar dari mulutku berulang-ulang menahan gejolak kenikmatan yang mengalir dari pangkal pahaku, terus mengalir ke atas sampai ke ubun-ubun kepalaku.
Aku sudah pernah mendapatkan jilatan di vaginaku, namun jilatan yang kurasakan kali ini lain dari pada yang lain. Lidah-lidah anak singa ini lemas, lunak dan sedikit kasar saat menyentuh bibir vagina dan ujung klitorisku. Tiba-tiba ada semacam ledakan dahsyat di bagian pangkal pahaku. Badanku tiba-tiba menggigil dan sedikit kejang, diiringi tumpahnya lahar pelumasku keluar dari dalam rahim menuju ke liang vaginaku.
Tzee.. Eerrt! Tzee.. Eerrt! Tzee.. Eerrt! Aku dapat merasakan semburan lahar hangat yang deras sekali hingga merembes keluar menembus melalui lubang vaginaku. Cairan lendir pelumasku serta merta langsung saja dijilat oleh kedua ekor anak singa ini bergantian. Dengan rakusnya mereka menjilati vaginaku hingga tetes terakhir hingga vaginaku menjadi bersih dan kering kembali.
Aku menarik napas panjang melepas sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kualami. Aku tanpa sengaja mendapatkan suatu pengalaman baru dalam menyalurkan hasrat sex-ku, mungkin tidak semua wanita di dunia ini beruntung dapat mengalami dan merasakan hal-hal yang pernah kualami dalam dunia kenikmatan sex.
Aku pun tahu bahwa seandainya pengalamanku ini kuceritakan di situs 17Tahun2.com pasti banyak pembaca yang tidak akan percaya begitu saja dengan pengalamanku yang satu ini. Namun bagiku itu tidak penting, yang penting bagiku adalah bagaimana aku bisa berbagi dengan menceritakan pengalamanku dengan apa adanya lewat situs ini.
Aku pun tidak berani mencoba-coba untuk mengulangi peristiwa itu lagi, karena kedua anak singa ini walau bagaimanapun juga mereka tetap termasuk dalam golongan binatang buas pemakan daging. Aku khawatir bahwa pada suatu saat kelak tanpa kusadari akan ada bagian di selangkanganku yang iritasi karena jilatannya. Hal ini akan berbahaya sekali karena biasanya binatang buas paling tidak tahan mencium bau darah, mereka akan jadi beringas dan penciuman mereka cukup tajam untuk hal yang satu itu.
*****
Demikianlah salah satu pengalaman dan petualangan seks unikku dalam menyalurkan hasrat saat berada di tempat kerja.
TAMAT
Darah Keperawanan Ayu
"Yah, kita terlambat deh, Yu." keluh Dinda.
"Sudah lewat lima menit nih", Ayu langsung lunglai.
Kuliah pertama hari ini dosennya killer banget, namanya Pak Sundjoto. Ia benar-benar takut sama Pak Sundjoto. Namanya saja sudah Sundjoto, bagaimana senjatanya. Finally, mereka harus bolos kuliah. Itu lebih baik, daripada mereka harus dihukum menyalin tugas statistik tujuh kali.
"Ya udah deh, aku mandi dulu. Kau juga Din, nanti masuk angin" kata Ayu sambil segera masuk ke kamarnya dengan lemas.
Dinda benar-benar merasa bersalah. Seharusnya ia tak terlalu lama memilih-milih bra tadi, tapi Dinda memang paling senang pilih-pilih underwear. Bisa dikategorikan bahwa Dinda seorang kolektor underwear. Akibatnya mereka harus mengejar waktu menembus hujan yang cukup deras, tapi nyatanya tetap harus terlambat. Untuk menebus kesalahannya itu Dinda memasakkan mie goreng untuk Ayu. Ayu gemar banget sama mie goreng, dan itu merupakan senjatanya untuk meminta maaf kepada Ayu.
Dinda tak peduli kedinginan. Tanpa harus mandi dulu, ia sudah menggorengkan mie untuk Ayu. Lalu Dinda segera membawa mie goreng "made in" dirinya ke kamar Ayu. Ayu kaget ketika Dinda tiba-tiba masuk ke kamarnya begitu saja. Pasalnya Ayu belum selesai memakai bajunya. Ia masih bertelanjang dada. Untung bagian paling sensitifnya sudah 'diamankan' sebelum Dinda masuk tadi.
Dinda juga tak kalah kagetnya. Ia sampai terbengong-bengong memandangi pemandangan indah yang terhampar di depan matanya. Kedua bukit kembar Ayu membusung di depannya. Sekal membulat sedikit berlebihan untuk tubuhnya yang agak kurus. Kedua bola mata Dinda yang bening nanar memandangi kedua daging kecil coklat kemerah-merahan yang bertengger di kedua ujung bukit kembar itu. Darah Dinda bagai disiram air hujan, dingin menggigil. Ia terbayang beberapa adegan blue film yang pernah ditontonnya.
Hujan semakin deras di luar. Petir mengelegar memekakkan telinga. Dinda tersentak mendengarnya.
"Ah, maaf Yu. Aku tak sengaja. Ini mie goreng untukmu. Makanlah selagi hangat," kata Dinda sedikit gugup.
Diletakkannya sepiring mie goreng itu di meja rias. Dinda segera berbalik hendak pergi tapi urung karena Ayu memanggilnya.
"Din, aku masuk angin. Kamu mau kerokin kan aku?" pinta Ayu.
Mulanya Dinda ingin menolak. Dia takut birahinya muncul dan salah tempat karena Ayu dan Dinda sejenis. Tapi melihat wajah memelas Ayu, perasaan bersalah Dinda kembali muncul. Bagaimanapun juga Dinda yang menyebabkan Ayu jadi masuk angin. Akhirnya Dindapun bersedia menuruti permintaan Ayu.
"Sebentar aku ambilkan balsemnya," ujar Dinda segera keluar kamar Ayu.
Tapi ternyata Ayu menyusul Dinda. Ayu berfikir di kamar Dinda juga tidak apa-apa, sama saja. Maka dengan hanya mengenakan CD-nya Ayu masuk ke kamar Dinda. Tentu saja Ayu tidak perlu khawatir karena mereka hanya berdua di rumah itu saat ini.
"Disini saja, Din." kata Ayu membuat Dinda terkejut tak menyangka Ayu akan menyusul ke kamarnya.
Ayu menelungkupkan badannya diatas ranjang. Kemudian Dinda duduk di tepi ranjang untuk mulai mengerokin kulit punggung Ayu. Tapi niat itu urung dengan tiba-tiba. Jemari Dinda menyentuh kulit punggung Ayu sekilas. Kulit punggung Ayu halus sekali.
Punggung Ayu yang agak kecoklat-coklatan nampak belang di bagian yang biasa tertutup tali bra. Tanpa sadar Dinda menyentuhkan jari telunjuknya menyusuri bagian punggung Ayu yang belang itu. Dari punggung atas teruuss menyamping. Ayu yang merasa kegelian membalikkan badan. Pada saat itulah tanpa sengaja jari telunjuk Dinda menyentuh payudara kiri Ayu.
"Kenapa, Din?" tanya Ayu sedikit mengatupkan mata menahan rasa merinding di tubuhnya.
"Kulitmu halus sekali."ujar Dinda dengan nafas tersendat.
Mata Dinda kembali tertuju pada bukit kembar yang terpampang di depannya.
"Milikmu besar sekali." lanjut Dinda.
"Kamu sudah pernah ML (make love) ya?"
"Siapa bilang? Ini keturunan.", jawab Ayu sambil sedikit mengangkat bukit kirinya ke atas, bagaikan menantang setiap tangan untuk memegangnya.
Birahi Dinda yang mulai terbakar dan imbas dari kehujanan tadi membuat Dinda menggigil. Kemudian dilepaskannya kaosnya yang sudah agak kering. Tersembulah dua bukit kembar Dinda yang masih terbalut kain bra. Dua bukit yang sebenarnya agak kecil itu terlihat lebih besar dari ukuran sebenarnya karena menegang menahan birahi Dinda yang mulai meluap. Entah mengapa Ayu menjadi senang ketika Dinda melepas kaosnya.
"Milikmu juga besar Din." kata Ayu.
Dinda memandangi kedua bukit yang masih tertutup kain itu
"Coba aku buka ya" pinta Ayu.
Ayu menempelkan tubuhnya ke tubuh Dinda untuk membuka pengait bra di punggung Dinda sehingga Dinda mudah untuk melepaskannya. Mata Ayu berbinar-binar memandangi dua bukit kembar ukuran 32 milik Dinda itu. Walau sedikit lebih kecil dari miliknya, tapi milik Dinda itu nampak lebih ranum. Tentu saja itu karena birahi Dinda yang mulai bergolak. Tiba-tiba Dinda melepaskan klok yang dipakainya. Sesekali gerakannya tersendat. Kini mereka berdua sama. Hanya memakai CD tanpa penutup lain.
"Yuu.. aku rasanya mau.." suara Dinda mendesah
"Mau apa?" tanya Ayu dengan tatapan menggoda.
"Aku tak bisa menahannya Yu.." suara Dinda makin mendesah.
Tahulah kini Ayu apa yang diinginkan Dinda. Ia segera menarik tuduh Dinda merebah. Kemudian dirabanya dada Dinda perlahan dan lembut. Diresapinya kehalusan kulit Dinda senti demi senti. Disentil-sentilnya puting payudara Dinda setiap kali jemari Ayu menyentuhnya. Dada Ayu bergemuruh, nafasnya naik turun. Sedang Dinda tersengal-sengal menikmati setiap sentuhan Ayu.
"Yu.. ooh.. dinginn.."
"Din.. kamu menggairahkan banget.. aku.. juga mau.."
Ayu mulai gelap mata. Kini ditindihnya tubuh Dinda. Bibir Ayu menyentuh bibir Dinda. Dilumatnya bibir bawah Dinda dengan rakus, dihisap dan digigit-gigit kecil. Dipermainkannya lidah Dinda dengan lidahnya hingga membuat Dinda berkerjap-kerjap. Bukit kembar mereka saling menghimpit. Keduanya nampak seperti kembar siam saja, saling menempel dan melumat. Dinda menggesek-gesekkan kemaluannya pada kemaluan Ayu berirama. Sedangkan kedua tangannya telah meremas-remas kedua bokong Ayu yang semok dan sekal. Nafas keduanya semakin memburu menikmati apa yang belum pernah sekalipun mereka rasakan.
"Ahgh.. Yu.. enak.. teruus aahh" rintih Dinda di sela-sela cumbuan Ayu.
Bibir Ayu turun menjilati leher Dinda yang jenjang dan memberikan gigitan-gigitan kecil sehingga nampak noda merah di beberapa tempat di leher Dinda. Gejolak birahi Dinda yang telah bergolak bagai tak bisa dibendung menyambar-nyambar bagai kilat di sore itu. Dibalikkannya tubuh Ayu sekuat tenaga.
Kini posisi mereka berbalik. Dinda yang berbadan lebih besar menghimpit tubuh Ayu. Tanpa banyak pikir diremasnya bukit kembar Ayu bergantian. Makin lama semakin keras. Ayu meringis menahan sakit. Lalu Dinda memasukkan puting merah kecoklat-coklatan itu ke dalam mulutnya. Di dalam mulutnya Dinda meniup dan menghisap daging kecil itu. Dijilatinya beberapa bagian yang bisa digapai oleh lidahnya. Kemudian digigit-gigitnya gemas daging yang sudah sangat keras itu.
"Achh.." teriak Ayu kesakitan.
Ayu membenamkan kepala Dinda ke dadanya yang semakin dibusungkan. Ayu benar-benar melayang. Manakala jemari Dinda mulai meraba-raba isi dibalik CD-nya. CD itu telah basah bermandikan lendir yang berasal dari lubang vagina Ayu. Dinda meraba-rabanya. Tangannya kini telah menelusuri setiap lekuk bukit belah yang berumput basah itu. Disentilnya sesekali ketika cemarinya menyentuh daging kecil yang tersembul di antara belahannya.
"Ehh.. nikmat sekali Din.. teruss lakukan teruss.. ehh" Ayu mengerang kenikmatan.
Dinda tak banyak bicara. Ia hanya mendengus-dengus memburu sambil terus mengulum puting susu Ayu. Ditekannya vagina Ayu dengan telapak tangannya. Tersembur cairan kental dari lubang vagina Ayu yang kini menempel di tangannya. Dinda menghentikan kulumannya. Dilihatnya telapak tangannya yang basah oleh cairan dari lubang vagina Ayu itu. Dijilatnya cairan itu. Tak berasa.
"Kenapa berhenti, Din?" kata Ayu kesal.
"Ikuti petunjukku Ayu," pinta Dinda.
Dinda segera melepas CDnya. Kini ia dalam keadaan telanjang bulat. Tak selembar kainpun membalut tubuhnya. Dilemparkannya CD yang telah basah itu entah kemana. Kemudian dilepasnya pula CD milik Ayu. Ayu membantu dengan meregangkan selangkangannya. Kini mereka telah sama-sama polos seperti bayi.
Dinda kini berganti posisi tidur. Tubuhnya masih tetap menindih tubuh Ayu. Tapi mukanya kini sudah berada di atas selakang Ayu. Dan wajah Ayupun sudah berada di bawah selakang Dinda. Dinda memulainya dengan menciumi vagina Ayu. Kemudian lidahnya mulai bermain-main di rerumputan yang telah basah itu.
Ayu bagai diperintah mengikuti semua yang dilakukan Dinda. Disapunya semua bagian vagina Dinda yang ditumbuhi bulu-bulu yang agak jarang. Dijilat-jilatnya klitoris Dinda lalu dihisapnya agak kuat. Dinda mendesis-desis kegelian. Lalu dilakukannya hal serupa pada vagina Ayu membuat Ayu bergelinjangan. Ditekan-tekannya kembali vagina Ayu dengan telapak tanggannya. Suur.. cairan kental itu kembali keluar. Dijilatinya dinding vagina Ayu sehingga membuat Ayu semakin terlena.
Tiba-tiba Dinda melihat lubang berwarna coklat kemerah- merahan yang agak terkatup. Dijilat-jilatnya lubang itu, Ayu bergelinjangan. Dinda terus menjilatinya sambil mengingat-ingat salah satu blue film yang pernah ditontonnya. Mungkin lubang inilah yang dimaksud. Lubang yang selalu disodok oleh penis kalau ingin mendapatkan kepuasan tertinggi. Mata Dinda berbinar-binar. Ia berguling ke samping, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Ayu.
"Aku akan membawamu terbang, Yuu.."
Ayu mengangguk pasrah. Yang terpenting baginya adalah menikmati permainan Dinda selanjutnya. Dinda meraih sebatang wortel dari rak sayur di bawah meja. Kemudian ditekuknya siku kaki Ayu dengan posisi agak mengangkang sehingga kepala Dinda mudah mencumbu kembali bagian terpeka Ayu itu. Dengan perlahan ditusukkannya ujung wortel itu ke dalam lubang kemaluan Ayu. Ayu merintih-rintih kesakitan. Vaginanya terasa panas dan nyeri. Tapi Dinda terus mendorongnya ke dalam.
"Aaahh.." Ayu menjerit badannya terduduk seketika.
Matanya liar memandangi benda apakah gerangan yang telah membuatnya merasa kesakitan. Darah segar menyembur, keperawanan Ayu telah amblas. Dinda menarik keluar batang wortel itu, tapi belum sampai keluar sepenuhnya, sudah dimasukkan kembali. Mata Dinda mengerjap-ngerjap. Sedang Ayu memandangi batang wortel yang keluar-masuk lubang keperawanannya dengan nafas menghentak-hentak. Ada rasa nikmat di antara rasa nyeri di lubang kewanitaannya.
Kemudian direbutnya batang wortel itu dari tangan Dinda. Dimasukkannya ujung wortel itu lebih dalam dengan tangganya sediri. Matanya terpejam menikmati kenikmatan yang luar biasa. Dinda yang merasa kelelahan tergeletak bersimbah keringat.
Hatinya bergemuruh mengenang yang barusan terjadi. Ada apa dengannya? Apakah dia sudah menjadi seorang lesbi? Ah, tidak! Ia masih normal! Hati Dinda berontak. Ia segera berlari keluar kamar sebelum Ayu kembali memburunya dengan batang wortel yang masih bersimbah darah keperawanan Ayu.
"Sudah lewat lima menit nih", Ayu langsung lunglai.
Kuliah pertama hari ini dosennya killer banget, namanya Pak Sundjoto. Ia benar-benar takut sama Pak Sundjoto. Namanya saja sudah Sundjoto, bagaimana senjatanya. Finally, mereka harus bolos kuliah. Itu lebih baik, daripada mereka harus dihukum menyalin tugas statistik tujuh kali.
"Ya udah deh, aku mandi dulu. Kau juga Din, nanti masuk angin" kata Ayu sambil segera masuk ke kamarnya dengan lemas.
Dinda benar-benar merasa bersalah. Seharusnya ia tak terlalu lama memilih-milih bra tadi, tapi Dinda memang paling senang pilih-pilih underwear. Bisa dikategorikan bahwa Dinda seorang kolektor underwear. Akibatnya mereka harus mengejar waktu menembus hujan yang cukup deras, tapi nyatanya tetap harus terlambat. Untuk menebus kesalahannya itu Dinda memasakkan mie goreng untuk Ayu. Ayu gemar banget sama mie goreng, dan itu merupakan senjatanya untuk meminta maaf kepada Ayu.
Dinda tak peduli kedinginan. Tanpa harus mandi dulu, ia sudah menggorengkan mie untuk Ayu. Lalu Dinda segera membawa mie goreng "made in" dirinya ke kamar Ayu. Ayu kaget ketika Dinda tiba-tiba masuk ke kamarnya begitu saja. Pasalnya Ayu belum selesai memakai bajunya. Ia masih bertelanjang dada. Untung bagian paling sensitifnya sudah 'diamankan' sebelum Dinda masuk tadi.
Dinda juga tak kalah kagetnya. Ia sampai terbengong-bengong memandangi pemandangan indah yang terhampar di depan matanya. Kedua bukit kembar Ayu membusung di depannya. Sekal membulat sedikit berlebihan untuk tubuhnya yang agak kurus. Kedua bola mata Dinda yang bening nanar memandangi kedua daging kecil coklat kemerah-merahan yang bertengger di kedua ujung bukit kembar itu. Darah Dinda bagai disiram air hujan, dingin menggigil. Ia terbayang beberapa adegan blue film yang pernah ditontonnya.
Hujan semakin deras di luar. Petir mengelegar memekakkan telinga. Dinda tersentak mendengarnya.
"Ah, maaf Yu. Aku tak sengaja. Ini mie goreng untukmu. Makanlah selagi hangat," kata Dinda sedikit gugup.
Diletakkannya sepiring mie goreng itu di meja rias. Dinda segera berbalik hendak pergi tapi urung karena Ayu memanggilnya.
"Din, aku masuk angin. Kamu mau kerokin kan aku?" pinta Ayu.
Mulanya Dinda ingin menolak. Dia takut birahinya muncul dan salah tempat karena Ayu dan Dinda sejenis. Tapi melihat wajah memelas Ayu, perasaan bersalah Dinda kembali muncul. Bagaimanapun juga Dinda yang menyebabkan Ayu jadi masuk angin. Akhirnya Dindapun bersedia menuruti permintaan Ayu.
"Sebentar aku ambilkan balsemnya," ujar Dinda segera keluar kamar Ayu.
Tapi ternyata Ayu menyusul Dinda. Ayu berfikir di kamar Dinda juga tidak apa-apa, sama saja. Maka dengan hanya mengenakan CD-nya Ayu masuk ke kamar Dinda. Tentu saja Ayu tidak perlu khawatir karena mereka hanya berdua di rumah itu saat ini.
"Disini saja, Din." kata Ayu membuat Dinda terkejut tak menyangka Ayu akan menyusul ke kamarnya.
Ayu menelungkupkan badannya diatas ranjang. Kemudian Dinda duduk di tepi ranjang untuk mulai mengerokin kulit punggung Ayu. Tapi niat itu urung dengan tiba-tiba. Jemari Dinda menyentuh kulit punggung Ayu sekilas. Kulit punggung Ayu halus sekali.
Punggung Ayu yang agak kecoklat-coklatan nampak belang di bagian yang biasa tertutup tali bra. Tanpa sadar Dinda menyentuhkan jari telunjuknya menyusuri bagian punggung Ayu yang belang itu. Dari punggung atas teruuss menyamping. Ayu yang merasa kegelian membalikkan badan. Pada saat itulah tanpa sengaja jari telunjuk Dinda menyentuh payudara kiri Ayu.
"Kenapa, Din?" tanya Ayu sedikit mengatupkan mata menahan rasa merinding di tubuhnya.
"Kulitmu halus sekali."ujar Dinda dengan nafas tersendat.
Mata Dinda kembali tertuju pada bukit kembar yang terpampang di depannya.
"Milikmu besar sekali." lanjut Dinda.
"Kamu sudah pernah ML (make love) ya?"
"Siapa bilang? Ini keturunan.", jawab Ayu sambil sedikit mengangkat bukit kirinya ke atas, bagaikan menantang setiap tangan untuk memegangnya.
Birahi Dinda yang mulai terbakar dan imbas dari kehujanan tadi membuat Dinda menggigil. Kemudian dilepaskannya kaosnya yang sudah agak kering. Tersembulah dua bukit kembar Dinda yang masih terbalut kain bra. Dua bukit yang sebenarnya agak kecil itu terlihat lebih besar dari ukuran sebenarnya karena menegang menahan birahi Dinda yang mulai meluap. Entah mengapa Ayu menjadi senang ketika Dinda melepas kaosnya.
"Milikmu juga besar Din." kata Ayu.
Dinda memandangi kedua bukit yang masih tertutup kain itu
"Coba aku buka ya" pinta Ayu.
Ayu menempelkan tubuhnya ke tubuh Dinda untuk membuka pengait bra di punggung Dinda sehingga Dinda mudah untuk melepaskannya. Mata Ayu berbinar-binar memandangi dua bukit kembar ukuran 32 milik Dinda itu. Walau sedikit lebih kecil dari miliknya, tapi milik Dinda itu nampak lebih ranum. Tentu saja itu karena birahi Dinda yang mulai bergolak. Tiba-tiba Dinda melepaskan klok yang dipakainya. Sesekali gerakannya tersendat. Kini mereka berdua sama. Hanya memakai CD tanpa penutup lain.
"Yuu.. aku rasanya mau.." suara Dinda mendesah
"Mau apa?" tanya Ayu dengan tatapan menggoda.
"Aku tak bisa menahannya Yu.." suara Dinda makin mendesah.
Tahulah kini Ayu apa yang diinginkan Dinda. Ia segera menarik tuduh Dinda merebah. Kemudian dirabanya dada Dinda perlahan dan lembut. Diresapinya kehalusan kulit Dinda senti demi senti. Disentil-sentilnya puting payudara Dinda setiap kali jemari Ayu menyentuhnya. Dada Ayu bergemuruh, nafasnya naik turun. Sedang Dinda tersengal-sengal menikmati setiap sentuhan Ayu.
"Yu.. ooh.. dinginn.."
"Din.. kamu menggairahkan banget.. aku.. juga mau.."
Ayu mulai gelap mata. Kini ditindihnya tubuh Dinda. Bibir Ayu menyentuh bibir Dinda. Dilumatnya bibir bawah Dinda dengan rakus, dihisap dan digigit-gigit kecil. Dipermainkannya lidah Dinda dengan lidahnya hingga membuat Dinda berkerjap-kerjap. Bukit kembar mereka saling menghimpit. Keduanya nampak seperti kembar siam saja, saling menempel dan melumat. Dinda menggesek-gesekkan kemaluannya pada kemaluan Ayu berirama. Sedangkan kedua tangannya telah meremas-remas kedua bokong Ayu yang semok dan sekal. Nafas keduanya semakin memburu menikmati apa yang belum pernah sekalipun mereka rasakan.
"Ahgh.. Yu.. enak.. teruus aahh" rintih Dinda di sela-sela cumbuan Ayu.
Bibir Ayu turun menjilati leher Dinda yang jenjang dan memberikan gigitan-gigitan kecil sehingga nampak noda merah di beberapa tempat di leher Dinda. Gejolak birahi Dinda yang telah bergolak bagai tak bisa dibendung menyambar-nyambar bagai kilat di sore itu. Dibalikkannya tubuh Ayu sekuat tenaga.
Kini posisi mereka berbalik. Dinda yang berbadan lebih besar menghimpit tubuh Ayu. Tanpa banyak pikir diremasnya bukit kembar Ayu bergantian. Makin lama semakin keras. Ayu meringis menahan sakit. Lalu Dinda memasukkan puting merah kecoklat-coklatan itu ke dalam mulutnya. Di dalam mulutnya Dinda meniup dan menghisap daging kecil itu. Dijilatinya beberapa bagian yang bisa digapai oleh lidahnya. Kemudian digigit-gigitnya gemas daging yang sudah sangat keras itu.
"Achh.." teriak Ayu kesakitan.
Ayu membenamkan kepala Dinda ke dadanya yang semakin dibusungkan. Ayu benar-benar melayang. Manakala jemari Dinda mulai meraba-raba isi dibalik CD-nya. CD itu telah basah bermandikan lendir yang berasal dari lubang vagina Ayu. Dinda meraba-rabanya. Tangannya kini telah menelusuri setiap lekuk bukit belah yang berumput basah itu. Disentilnya sesekali ketika cemarinya menyentuh daging kecil yang tersembul di antara belahannya.
"Ehh.. nikmat sekali Din.. teruss lakukan teruss.. ehh" Ayu mengerang kenikmatan.
Dinda tak banyak bicara. Ia hanya mendengus-dengus memburu sambil terus mengulum puting susu Ayu. Ditekannya vagina Ayu dengan telapak tangannya. Tersembur cairan kental dari lubang vagina Ayu yang kini menempel di tangannya. Dinda menghentikan kulumannya. Dilihatnya telapak tangannya yang basah oleh cairan dari lubang vagina Ayu itu. Dijilatnya cairan itu. Tak berasa.
"Kenapa berhenti, Din?" kata Ayu kesal.
"Ikuti petunjukku Ayu," pinta Dinda.
Dinda segera melepas CDnya. Kini ia dalam keadaan telanjang bulat. Tak selembar kainpun membalut tubuhnya. Dilemparkannya CD yang telah basah itu entah kemana. Kemudian dilepasnya pula CD milik Ayu. Ayu membantu dengan meregangkan selangkangannya. Kini mereka telah sama-sama polos seperti bayi.
Dinda kini berganti posisi tidur. Tubuhnya masih tetap menindih tubuh Ayu. Tapi mukanya kini sudah berada di atas selakang Ayu. Dan wajah Ayupun sudah berada di bawah selakang Dinda. Dinda memulainya dengan menciumi vagina Ayu. Kemudian lidahnya mulai bermain-main di rerumputan yang telah basah itu.
Ayu bagai diperintah mengikuti semua yang dilakukan Dinda. Disapunya semua bagian vagina Dinda yang ditumbuhi bulu-bulu yang agak jarang. Dijilat-jilatnya klitoris Dinda lalu dihisapnya agak kuat. Dinda mendesis-desis kegelian. Lalu dilakukannya hal serupa pada vagina Ayu membuat Ayu bergelinjangan. Ditekan-tekannya kembali vagina Ayu dengan telapak tanggannya. Suur.. cairan kental itu kembali keluar. Dijilatinya dinding vagina Ayu sehingga membuat Ayu semakin terlena.
Tiba-tiba Dinda melihat lubang berwarna coklat kemerah- merahan yang agak terkatup. Dijilat-jilatnya lubang itu, Ayu bergelinjangan. Dinda terus menjilatinya sambil mengingat-ingat salah satu blue film yang pernah ditontonnya. Mungkin lubang inilah yang dimaksud. Lubang yang selalu disodok oleh penis kalau ingin mendapatkan kepuasan tertinggi. Mata Dinda berbinar-binar. Ia berguling ke samping, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Ayu.
"Aku akan membawamu terbang, Yuu.."
Ayu mengangguk pasrah. Yang terpenting baginya adalah menikmati permainan Dinda selanjutnya. Dinda meraih sebatang wortel dari rak sayur di bawah meja. Kemudian ditekuknya siku kaki Ayu dengan posisi agak mengangkang sehingga kepala Dinda mudah mencumbu kembali bagian terpeka Ayu itu. Dengan perlahan ditusukkannya ujung wortel itu ke dalam lubang kemaluan Ayu. Ayu merintih-rintih kesakitan. Vaginanya terasa panas dan nyeri. Tapi Dinda terus mendorongnya ke dalam.
"Aaahh.." Ayu menjerit badannya terduduk seketika.
Matanya liar memandangi benda apakah gerangan yang telah membuatnya merasa kesakitan. Darah segar menyembur, keperawanan Ayu telah amblas. Dinda menarik keluar batang wortel itu, tapi belum sampai keluar sepenuhnya, sudah dimasukkan kembali. Mata Dinda mengerjap-ngerjap. Sedang Ayu memandangi batang wortel yang keluar-masuk lubang keperawanannya dengan nafas menghentak-hentak. Ada rasa nikmat di antara rasa nyeri di lubang kewanitaannya.
Kemudian direbutnya batang wortel itu dari tangan Dinda. Dimasukkannya ujung wortel itu lebih dalam dengan tangganya sediri. Matanya terpejam menikmati kenikmatan yang luar biasa. Dinda yang merasa kelelahan tergeletak bersimbah keringat.
Hatinya bergemuruh mengenang yang barusan terjadi. Ada apa dengannya? Apakah dia sudah menjadi seorang lesbi? Ah, tidak! Ia masih normal! Hati Dinda berontak. Ia segera berlari keluar kamar sebelum Ayu kembali memburunya dengan batang wortel yang masih bersimbah darah keperawanan Ayu.
Asri anak Ibu Kost
Aku tinggal di Jakarta
waktu aku diterima untuk masuk ke Universitas Indonesia. Karena aku
berasal dari daerah, maka aku tinggal di rumah kost di Kelapa Gading.
Yang tinggal di sana perempuan semua, dan mereka memanggilku Mara,
kependekan dari Tamara.
Kejadian ini pada siang hari, waktu aku mendapat liburan pendek karena ada perbaikan komputer network di tempat kerjaku. Aku bangun agak siang dan sehabis mandi, aku bedaki badanku dengan bedak bayi Johnson dan aku cuma membelitkan handukku di pinggang.
Tiba tiba pintu terbuka, dan Asri, anak ibu kostku masuk dengan membawa pakaian bersihku yang telah rapi terlipat. Asri kaget melihatku setengah telanjang.
Dengan terbata-bata dia berkata, "Oh.., oh.., maaf Mbak, Asri kira Mbak pergi kerja..", dan dia terlihat tersipu-sipu.
Aku menenangkan dia, "Nggak apa-apa kok, tolong dong bedakin punggung Mbak.., taruh aja pakaiannya di atas laci".
Dengan agak ragu-ragu, dia datang mendekat dan masih memandangi buah dadaku yang menggantung dengan bebasnya. Aku berikan botol bedak ke tangannya. Dia mulai mengusap punggungku dengan perlahan dan hati-hati, seolah-olah takut akan menggores punggungku. Matanya masih terpaku di buah dadaku, yang aku boleh berbangga, dengan putingnya yang kelihatan mendongak ke atas dan berwarna coklat muda. Waktu tangannya membedaki pinggangku, aku menggeliat kegelian, dan handuk yang dari tadi bertengger di pinggangku jatuh ke lantai, aku dapat melihat mukanya merah menahan malu, tapi matanya masih melihat ke liang kewanitaanku yang berambut tidak begitu lebat. Dan tanpa disadari, dia masih mengusap-usap pinggangku dan malah turun ke pantatku yang padat, tidak terlalu besar, tapi mempunyai bentuk yang nikmat dipandang, pacarku juga bilang juga nikmat diremas. Aku tidak yakin dia melakukannya dengan sengaja, atau karena terbawa emosi.
Lalu kutanya dia, "Asri mau dibedakin juga?".
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Lalu aku suruh dia untuk melepas kaosnya, dan juga BH-nya. Buah dadanya tidak sebesar punyaku, tapi mempunyai bentuk yang bagus, seperti buah pear dibelah dua, dengan putingnya yang berwarna kemerah-merahan menonjol keluar, warnanya serasi sekali dengan warna kulitnya yang kecoklatan.
Aku bedaki dadanya, dan kurasakan buah dadanya yang empuk dan lembut. Tanganku tidak berhenti sampai di situ, aku usap perut, dan dengan nakalnya jariku bermain-main di pusarnya, Asripun menggeliat kegelian. Dan aku menaikkan tanganku kembali ke buah dadanya, yang kuusap dan setengah kuremas juga, dia hanya menggeliat.
"mmbak.., aah..". Putingnya tidak ketinggalan kupilin, dan kucubitin kecil, tidak terlalu keras. Kusuruh dia untuk berbalik supaya aku bisa mengusap punggungnya, hanya kuusap sebentar saja. Dari belakang tanganku pergi ke dadanya lagi, sedangkan dadaku menempel di punggungnya, sesekali dia bergoyang dan aku merasa punggungnya bergesekan dengan putingku yang mulai mengeras. Dan dari kaca aku bisa melihat bahwa dia senyum-senyum keenakan, tanganku bukan hanya mengusap lagi, tapi sudah mulai meremas buah dadanya yang bergantung indah, lebih keras dari sebelumnya, dan putingnya kucubit perlahan lalu kupilin-pilin.
Asri hanya menggeliat sambil mengeluarkan suara, "Ah.., ehm.., nikmat Mbak.., ahaa.., jangan keras-keras dong Mbak..!", dan aku hanya tersenyum melihat kelakuannya. Kucium tengkuknya, dan kugigit kecil dari samping, dan dia masih, "Ah.., ua..", dengan tertahan.
Lalu aku bertanya, "Celananya dibuka ya..?", sebelum dia berkata apa-apa, tanganku telah membuka kancing dan retsleting celananya, dan kuturunkan sekalian celana dalamnya, aku bisa melihat bercak basahnya telah menembus ke celana dalamnya.
"Tiduran aja di ranjang Mbak.., saja.., ya..", kataku dan Asri hanya menurut saja, kakinya kugeser sehingga bergantung di sisi ranjang. Aku mulai menciumi paha dalamnya, tercium bau sabun LUX yang dipakainya, bertanda dia belum lama mandinya. Kugigit kecil antara paha dalam kanan dan kiri. Mulutku mulai bergerak menuju liang kewanitaannya, dengan rambut yang jarang, bau aroma birahinya sangat terasa sekali. Aku mulai menjilati pinggiran hutannya, dan kemudian perlahan kutaruh lidahku di tengah-tengah vaginanya. Kakinya kuangkat ke pundakku supaya aku dapat lebih leluasa menjilatinya. Rasanya agak anyir tapi setelah lidahku masuk lebih dalam rasanya berubah menjadi asin dan gurih. Asripun bertambah menggeliatnya. Tanganku dengan merangkul pahanya mencari bibir vaginanya lalu kubuka dengan menariknya ke samping, supaya lidahku bisa merasakan lendirnya yang lebih dalam. Asri juga tidak mau kalah kepalaku mulai didorong dan ditariknya karena gemas dan kegelian.
Pada saat itu aku masih belum menemukan clitorisnya, lidahku masih menjilati dan mencari-cari, bagian atas dari vaginanya, aku masukkan lidahku dalam vaginanya, dan menari-nari di dalamnya, dan membuat dia keenakan dan kegelian, pinggulnyapun mulai bergoyang. Sekitar 5 menit lidahku bermain-main di situ. Sampai pada suatu saat aku merasa ada benjolan kecil, aku mencoba untuk menguak hutannya, dan akhirnya aku temukan clitorisnya, kulihat dia mulai meremas-remas buah dadanya, dan tanpa membuang waktu kuhisap clitorisnya perlahan, dan saking gemasnya dia mengepit kepalaku di antara kedua pahanya, dan menggeliat pada waktu yang bersamaan. Dengan jariku clitorisnya kuusap, dan gesek, lidahkupun masuk ke dalam vaginaya yang masih basah, aku juga merasakan makin banyak cairan yang keluar setelah aku gesek clitorisnya. Lidahku masih menari-nari di dalam vaginanya sambil sekali-kali aku hisap lendir dari dalam vaginanya. Penutup clitorisnya kubuka, dan kujilati juga waktu masih basah kutiup clitorisnya dari dekat, dan dia rupanya kedinginan.
"Mbak Mara jangan ditiup dingin..", Karena clitorisnya sudah ketemu maka kuhisap lagi sambil tanganku membantu untuk meremas dadanya, satu tangan meremas dadanya, dan tangan satunya aku mainkan vaginaku. Aku sendiri sudah basah dan waktu aku lihat di lantai, ternyata ada beberapa tetes lendirku sudah menetes di lantai.
Kali ini aku hisap clitorisnya dan lendir Asri keluar lebih banyak, dan akupun masih dengan semangat menjilatinya. Aku masukkan jari kecilku di lubangnya yang masih perawan. Lendir Asri masih keluar juga, dan jari kecilkupun berganti dengan jari telunjuk, kudengar, "Ah.., Mbak.., Mbak Mara, pegel Mbak, ah..", aku tahu dia sudah hampir keluar, hisapanku tidak berhenti sampai disitu, aku hisap sambil kugeleng-gelengkan kepalaku yang mana membuat Asri kegelian, badannyapun mulai mengejang, dan aku masih mengisap, dan kadang-kadang menjilati bagian dalam vaginanya. Aku merasa himpitan pahanya tiba-tiba mengejang, dan vaginanya memuntahkan lendir yang berwarna putih bening, kuhisap dan jilati, tapi aku tidak menelannya. Masih dalam mulutku, aku naik di atas Asri, dan aku ciumi bibirnya sambil kukeluarkan lendirnya sedikit demi sedikit, biar dia juga ikut merasakannya. Kita mulai berciuman dan lidahnya bermain pedang di dalam mulutnya, kemudian bergatian di mulutku, kadang-kadang dihisapnya lidahku olehnya yang membuatku terangsang sekali. Kita berpelukan sambil tiduran selama 20 menit, sambil mengatur napas, dan beristirahat.
Sejak itu jika dia sedang libur atau suntuk Asri sering main ke kamarku, aku tidak keberatan, karena terkadang aku juga merasa kesepian kalau dia tidak mampir.
TAMAT
Kejadian ini pada siang hari, waktu aku mendapat liburan pendek karena ada perbaikan komputer network di tempat kerjaku. Aku bangun agak siang dan sehabis mandi, aku bedaki badanku dengan bedak bayi Johnson dan aku cuma membelitkan handukku di pinggang.
Tiba tiba pintu terbuka, dan Asri, anak ibu kostku masuk dengan membawa pakaian bersihku yang telah rapi terlipat. Asri kaget melihatku setengah telanjang.
Dengan terbata-bata dia berkata, "Oh.., oh.., maaf Mbak, Asri kira Mbak pergi kerja..", dan dia terlihat tersipu-sipu.
Aku menenangkan dia, "Nggak apa-apa kok, tolong dong bedakin punggung Mbak.., taruh aja pakaiannya di atas laci".
Dengan agak ragu-ragu, dia datang mendekat dan masih memandangi buah dadaku yang menggantung dengan bebasnya. Aku berikan botol bedak ke tangannya. Dia mulai mengusap punggungku dengan perlahan dan hati-hati, seolah-olah takut akan menggores punggungku. Matanya masih terpaku di buah dadaku, yang aku boleh berbangga, dengan putingnya yang kelihatan mendongak ke atas dan berwarna coklat muda. Waktu tangannya membedaki pinggangku, aku menggeliat kegelian, dan handuk yang dari tadi bertengger di pinggangku jatuh ke lantai, aku dapat melihat mukanya merah menahan malu, tapi matanya masih melihat ke liang kewanitaanku yang berambut tidak begitu lebat. Dan tanpa disadari, dia masih mengusap-usap pinggangku dan malah turun ke pantatku yang padat, tidak terlalu besar, tapi mempunyai bentuk yang nikmat dipandang, pacarku juga bilang juga nikmat diremas. Aku tidak yakin dia melakukannya dengan sengaja, atau karena terbawa emosi.
Lalu kutanya dia, "Asri mau dibedakin juga?".
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Lalu aku suruh dia untuk melepas kaosnya, dan juga BH-nya. Buah dadanya tidak sebesar punyaku, tapi mempunyai bentuk yang bagus, seperti buah pear dibelah dua, dengan putingnya yang berwarna kemerah-merahan menonjol keluar, warnanya serasi sekali dengan warna kulitnya yang kecoklatan.
Aku bedaki dadanya, dan kurasakan buah dadanya yang empuk dan lembut. Tanganku tidak berhenti sampai di situ, aku usap perut, dan dengan nakalnya jariku bermain-main di pusarnya, Asripun menggeliat kegelian. Dan aku menaikkan tanganku kembali ke buah dadanya, yang kuusap dan setengah kuremas juga, dia hanya menggeliat.
"mmbak.., aah..". Putingnya tidak ketinggalan kupilin, dan kucubitin kecil, tidak terlalu keras. Kusuruh dia untuk berbalik supaya aku bisa mengusap punggungnya, hanya kuusap sebentar saja. Dari belakang tanganku pergi ke dadanya lagi, sedangkan dadaku menempel di punggungnya, sesekali dia bergoyang dan aku merasa punggungnya bergesekan dengan putingku yang mulai mengeras. Dan dari kaca aku bisa melihat bahwa dia senyum-senyum keenakan, tanganku bukan hanya mengusap lagi, tapi sudah mulai meremas buah dadanya yang bergantung indah, lebih keras dari sebelumnya, dan putingnya kucubit perlahan lalu kupilin-pilin.
Asri hanya menggeliat sambil mengeluarkan suara, "Ah.., ehm.., nikmat Mbak.., ahaa.., jangan keras-keras dong Mbak..!", dan aku hanya tersenyum melihat kelakuannya. Kucium tengkuknya, dan kugigit kecil dari samping, dan dia masih, "Ah.., ua..", dengan tertahan.
Lalu aku bertanya, "Celananya dibuka ya..?", sebelum dia berkata apa-apa, tanganku telah membuka kancing dan retsleting celananya, dan kuturunkan sekalian celana dalamnya, aku bisa melihat bercak basahnya telah menembus ke celana dalamnya.
"Tiduran aja di ranjang Mbak.., saja.., ya..", kataku dan Asri hanya menurut saja, kakinya kugeser sehingga bergantung di sisi ranjang. Aku mulai menciumi paha dalamnya, tercium bau sabun LUX yang dipakainya, bertanda dia belum lama mandinya. Kugigit kecil antara paha dalam kanan dan kiri. Mulutku mulai bergerak menuju liang kewanitaannya, dengan rambut yang jarang, bau aroma birahinya sangat terasa sekali. Aku mulai menjilati pinggiran hutannya, dan kemudian perlahan kutaruh lidahku di tengah-tengah vaginanya. Kakinya kuangkat ke pundakku supaya aku dapat lebih leluasa menjilatinya. Rasanya agak anyir tapi setelah lidahku masuk lebih dalam rasanya berubah menjadi asin dan gurih. Asripun bertambah menggeliatnya. Tanganku dengan merangkul pahanya mencari bibir vaginanya lalu kubuka dengan menariknya ke samping, supaya lidahku bisa merasakan lendirnya yang lebih dalam. Asri juga tidak mau kalah kepalaku mulai didorong dan ditariknya karena gemas dan kegelian.
Pada saat itu aku masih belum menemukan clitorisnya, lidahku masih menjilati dan mencari-cari, bagian atas dari vaginanya, aku masukkan lidahku dalam vaginanya, dan menari-nari di dalamnya, dan membuat dia keenakan dan kegelian, pinggulnyapun mulai bergoyang. Sekitar 5 menit lidahku bermain-main di situ. Sampai pada suatu saat aku merasa ada benjolan kecil, aku mencoba untuk menguak hutannya, dan akhirnya aku temukan clitorisnya, kulihat dia mulai meremas-remas buah dadanya, dan tanpa membuang waktu kuhisap clitorisnya perlahan, dan saking gemasnya dia mengepit kepalaku di antara kedua pahanya, dan menggeliat pada waktu yang bersamaan. Dengan jariku clitorisnya kuusap, dan gesek, lidahkupun masuk ke dalam vaginaya yang masih basah, aku juga merasakan makin banyak cairan yang keluar setelah aku gesek clitorisnya. Lidahku masih menari-nari di dalam vaginanya sambil sekali-kali aku hisap lendir dari dalam vaginanya. Penutup clitorisnya kubuka, dan kujilati juga waktu masih basah kutiup clitorisnya dari dekat, dan dia rupanya kedinginan.
"Mbak Mara jangan ditiup dingin..", Karena clitorisnya sudah ketemu maka kuhisap lagi sambil tanganku membantu untuk meremas dadanya, satu tangan meremas dadanya, dan tangan satunya aku mainkan vaginaku. Aku sendiri sudah basah dan waktu aku lihat di lantai, ternyata ada beberapa tetes lendirku sudah menetes di lantai.
Kali ini aku hisap clitorisnya dan lendir Asri keluar lebih banyak, dan akupun masih dengan semangat menjilatinya. Aku masukkan jari kecilku di lubangnya yang masih perawan. Lendir Asri masih keluar juga, dan jari kecilkupun berganti dengan jari telunjuk, kudengar, "Ah.., Mbak.., Mbak Mara, pegel Mbak, ah..", aku tahu dia sudah hampir keluar, hisapanku tidak berhenti sampai disitu, aku hisap sambil kugeleng-gelengkan kepalaku yang mana membuat Asri kegelian, badannyapun mulai mengejang, dan aku masih mengisap, dan kadang-kadang menjilati bagian dalam vaginanya. Aku merasa himpitan pahanya tiba-tiba mengejang, dan vaginanya memuntahkan lendir yang berwarna putih bening, kuhisap dan jilati, tapi aku tidak menelannya. Masih dalam mulutku, aku naik di atas Asri, dan aku ciumi bibirnya sambil kukeluarkan lendirnya sedikit demi sedikit, biar dia juga ikut merasakannya. Kita mulai berciuman dan lidahnya bermain pedang di dalam mulutnya, kemudian bergatian di mulutku, kadang-kadang dihisapnya lidahku olehnya yang membuatku terangsang sekali. Kita berpelukan sambil tiduran selama 20 menit, sambil mengatur napas, dan beristirahat.
Sejak itu jika dia sedang libur atau suntuk Asri sering main ke kamarku, aku tidak keberatan, karena terkadang aku juga merasa kesepian kalau dia tidak mampir.
TAMAT
Diantara Dua Kenikmatan
Mungkin ada baiknya apabila
aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Namaku Ivy, aku adalah
seorang gadis berusia 19 tahun yang tinggal di kota Bandung. Ini adalah
untuk pertama kalinya aku menulis artikel, jadi mohon maaf apabila
tulisanku disini masih kacau.
Aku akan menceritakan salah satu pengalaman pribadiku yang tidak pernah terlupakan seumur hidupku. Mungkin apabila aku dikatakan lesbi agak kurang tepat, karena selama ini aku masih tertarik dengan pria. Tapi ada satu keanehan dalam sifatku yang terkadang terangsang ketika melihat sesama jenis, apalagi apabila ia memakai baju yang ketat, atau baju yang sedikit transparan.
Aku memiliki seorang kekasih yang berinisial W. Aku menjalin hubungan dengannya sejak bangku SMA. Hubunganku dengannya sebenarnya belum terlalu jauh. Paling jauh kami hanya melakukan petting dengan masih mengenakan pakaian dalam. Tapi dalam hal yang satu ini seringkali aku tidak terpuaskan. Kekasihku selalu 'keluar' sebelum aku sempat mengalami orgasme.
Singkat cerita, aku menjadi bosan dan mulai mencari-cari pelampiasan. Pada awalnya, ketika suatu malam, kekasihku baru saja pulang dari rumahku setelah kami melakukan petting. Dan seperti biasanya, Ia sudah 'keluar' sebelum sempat aku mengalami orgasme. Malam itu aku begitu kesal. Sampai akhirnya ketika aku sedang tidur-tiduran, dan perasaan itu datang kembali. Horny yang amat sangat. Tanpa kusadari, aku memulai berfantasi tentang hubungan seksual bersama seorang pria kekar, yang begitu jantan dan dapat membuatku orgasme sampai berkali-kali.
Tanpa kusadari tanganku mulai meremas-remas buah dadaku sendiri. Aku sangat terangsang saat itu. Aku sendiri sebenarnya tidak menginginkan untuk bermasturbasi, tetapi dorongan itu sangat kuat, aku hanya merasakan sebuah kenikmatan baru. Sambil terus berfantasi, aku mulai membuka baju kaosku sampai aku hanya menggunakan BH dan celana dalam saja (aku mempunyai kebiasaan hanya memakai kaos tanpa celana apabila aku sedang berada di rumah). Aku meremas-remas, mengelus-elus lembut payudaraku, sambil sesekali memainkan puting susuku. Nafasku mulai tak teratur, tangan kananku mulai bergerak ke bawah, menelusuri perutku, lalu berhenti sebentar di daerah pusarku, lalu memainkannya sebentar, lalu kulanjutkan lagi kebawah, mengelus-elus lembut bagian kemaluanku yang masih tertutup celana dalamku yang berwarna putih dan terbuat dari katun itu. Aku merasakan rangsangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya sekalipun dengan kekasihku sendiri.
Setelah bermain cukup lama di atas celana dalamku, aku mulai meraba-raba masuk ke dalam celana dalamku. Kuelus lembut rambut-rambut halusku yang selama ini rajin kucukur. Kumainkan klitorisku yang sejak tadi sudah menonjol. Kurasakan kelembaban kemaluanku yang sedari tadi sudah terangsang. Aku menggesek-gesekkan jariku di klitorisku. Sampai tubuhku bergetar tak karuan. Ketika aku mulai memainkan bibir kemaluanku, begitu terkejutnya aku ketika tiba-tiba pintu kamarku dibuka dengan cepat, dan ternyata sahabatku yang berinisial S. Betapa terkejut dan malunya aku saat itu karena pada saat itu aku sedang dalam posisi terlentang di tempat tidur dengan hanya menggunakan celana dalam dan bra yang sudah tersingkap, ditambah posisi tangan kananku yang berada di dalam celana dalamku sendiri. Begitu juga S, ia hanya berdiri kaku dan tak berkata sepatah kata pun.
S adalah seorang gadis bertubuh ideal, sampai kadang-kadang aku iri dengan tubuhnya itu. Pinggulnya yang besar, buah dadanya yang ideal (34B) dengan tinggi tubuh sekitar 160 cm, perut langsing. Cukup membuat iri para gadis yang melihatnya.
Setelah beberapa detik kami saling membisu, akhirnya ia memecahkan suasana dengan senyum nakalnya sambil berkata, "Lagi Ngapain Vy?"
Aku hanya dapat menjawab dengan terbata-bata, "Eng.. ngg.. ngga ngapa-ngapain kok.."
Dia hanya membalas ucapanku dengan tersenyum nakal sambil menghampiri tubuhku yang sedang terlentang dan setengah telanjang. Tanpa berkata apa-apa ia mulai mengelus-elus buah dadaku.
Aku sempat tersentak kaget tapi ia berkata, "Santai aja, tadi belom puas ya?"
Aku pada awalnya masih risih ketika ia memulainya, tapi entah mengapa aku hanya diam saja keenakan menerima elusan-elusannya itu. Ia mulai membuka BH-ku dan mulai mencium lembut kedua buah dadaku. Tidak lama kemudian aku sudah terangsang dibuatnya, nafasku mulai tak teratur.
Setelah beberapa menit ia mencium dan menjilati kedua buah dadaku, ia mulai membuka celana dalamku. Ia mulai menjilati mulai dari ibu jari kakiku, naik terus ke betis, ke paha, sampai pangkal pahaku. Menerima perlakuannya itu aku benar-benar terangsang. Badanku mulai gelisah, bergerak ke kiri-kanan mengimbangi jilatan-jilatannya. Ia berhenti sejenak, lalu ia berdiri dan mulai membuka pakaiannya. Ketika itu pula aku melihat kedua buah dadanya yang putih kencang, dan puting susunya yang berwarna coklat muda. Seketika itu juga tanpa kusadari aku jadi tambah terangsang. Terlebih-lebih ketika ia membuka celana dalamnya. Oh, yang kurasakan pada saat itu darahku berdesir dari jantungku menuju kemaluanku yang membuat kemaluanku terasa berdenyut-denyut dibuatnya.
Setelah selesai membuka seluruh pakaiannya, ia kembali naik ke atas tempat tidurku dan kembali menjilati pangkal pahaku sambil sesekali meremas payudaraku. Lalu ia mulai menjilati bibir kemaluanku yang membuatku seperti tersetrum arus listrik, badanku mulai mengejang kenikmatan. Ia menjilati bibir kemaluanku cukup lama sampai ia akhirnya mulai menjilati klitorisku sambil sesekali menggigit kecil klitorisku yang membuatku berkelonjotan.
Setelah agak lama Ia mulai mencoba memasukkan jarinya ke dalam lubang kewanitaanku yang sudah basah itu. Ia memutar-mutar jari tengahnya di mulut liang kewanitaanku beberapa kali sampai akhirnya ia memasukkan jari tengahnya ke dalam liang kewanitaanku dengan perlahan. Leguhan kenikmatan pun keluar dari bibir tipisku. Ia mulai menggerak-gerakkan jari tengahnya maju-mundur dengan irama yang semakin lama semakin cepat. "Ahh.." suara desahan kenikmatan pun tak kuasa kubendung untuk keluar dari bibirku ini. Semakin dalam ia memasukkan jarinya ke liang kewanitaanku, semakin tak kuasa diriku menahan kenikmatan itu sampai akhirnya seluruh tubuhku seperti dialiri suatu hawa kenikmatan yang berpusat pada vaginaku dan menjalar ke seluruh tubuhku. Jeritan yang tertahan disertai tubuh yang menggelinjang kenikmatan hanya dapat kutahan dengan memagut bibir tipisku sambil mencengkram erat bed cover ranjangku. Sungguh suatu perasaan yang sangat luar biasa. Aku hanya terkulai lemas walaupun dalam hati kecil ini masih mengharapkan untuk yang selanjutnya.
Melihat diriku sudah mencapai orgasme, S pun mulai mengarahkan tanganku ke arah buah dadanya yang putih mulus itu. Aku pun langsung menyambutnya dengan elusan-elusan lembut di sekeliling puting susunya, secara perlahan-lahan kuusap, terus ke arah tengah buah dadanya, sampai akhirnya kuusap lembut kedua puting susunya yang sudah menegang sedari tadi. Kukulum kedua jari telunjukku, kubasahi dengan ludahku, lalu kuteruskan memberikan stimulasi di kedua puting susunya. Leguhan yang keluar dari bibirnya semakin membuatku terangsang untuk memberinya stimulasi yang lebih hebat. Lalu aku pun duduk tepat di depannya dan mulai menjilati daun telinga kirinya sambil tetap kedua tanganku memberikan stimulasi di kedua buah dadanya. Kujilat sambil sesekali kugigit-gigit kecil daun telinganya, sambil terus turun ke arah leher, pundak, lalu ke tengah-tengah antara kedua buah dadanya, lalu menuju ke arah buah dadanya yang sebelah kiri. Kujilat terus sampai menuju puting susunya. Lalu aku berhenti di sana, kujilat, kumainkan lidahku di sana sambil sesekali kuhisap dan kugigit-gigit kecil.
Tubuhnya pun mulai terlihat berkeringat, gerakan-gerakannya semakin gelisah sambil menggigit bibir bawahnya, suara leguhan dan desahan pun tak urung keluar dari bibirnya itu. Setelah itu aku menuju ke arah buah dadanya yang sebelah kanan, kulakukan persis sama seperti ketika kustimulasi buah dadanya yang sebelah kiri. Setelah cukup lama lidahku pun mulai bergerak turun ke arah perutnya yang langsing dan putih mulus, terus ke bawah sampai ke pusarnya. Lalu kujilat-jilat pusarnya yang mengakibatkan tubuhnya semakin berkeringat dan berkelonjotan. Dari pusar aku meneruskan lidahku ke bawah, ke arah kemaluannya. Kujilat lembut rambut-rambut kemaluannya, lalu lidahku kuarahkan ke pangkal pahanya. Kucium-cium lembut pangkal pahanya yang membuatnya kegelian. Kusentuh dengan jariku bibir kemaluannya yang sudah basah oleh cairan pelumas yang dikeluarkan oleh vaginanya akibat rangsangan-rangsangan yang tadi kuberikan. Kugesek-gesekkan jariku di sana. Leguhan yang keluar dari bibirnya pun semakin menjadi-jadi mengimbangi semakin banyaknya pula cairan yang keluar dari kemaluannya.
Setelah agak lama jariku kugesek-gesekkan bibir kemaluannya, dengan suaranya yang mendesah, ia pun memintaku untuk menjilati liang kewanitaannya. Tanpa berpikir panjang, aku pun mulai menjilati bibir kemaluannya walaupun saat itulah untuk pertama kalinya aku menjilat bibir kemaluan seorang wanita. Leguhan dan desah nafasnya semakin memburu. Lalu dengan kedua jariku, kutarik lipatan vaginanya ke atas sampai dapat kulihat klitorisnya yang berwarna pink itu, lalu kujilat-jilat dan kuhisap lembut. Tetesan keringatnya pun semakin membasahi tubuh indahnya itu.
Lalu ia menarik tubuhku dan mengajakku untuk membentuk posisi 69 dengan posisiku yang berada di atas. Terus terang, pada saat menstimulasinya kemaluanku pun sudah sangat basah akibat terangsang hebat, walaupun ini adalah untuk pertama kalinya aku berhubungan dengan sejenis. Sambil menjilati klitorisku ia memasukan jari tengahnya ke dalam liang kemaluanku yang sudah basah itu dan menggerak-gerakkan jarinya maju-mundur. Menerima perlakuan itu membuat diriku pun tidak mau kalah dan terus menstimulasi kemaluannya semakin hebat.
Tak lama kemudian tubuhnya terlihat mengejang menandakan orgasmenya telah tiba. Ia menghentikan kegiatannya menstimulasi kemaluanku dan mendekap pinggulku erat sambil meremas kedua pantatku disertai leguhan panjang nikmat dari bibirnya. Dengan nafas yang masih terengah-engah lalu ia menyuruhku mengganti posisi membentuk posisi menyerupai huruf X, dimana kemaluan kami bertemu di tengah-tengah. Kami pun seakan telah terbiasa dengan posisi tersebut mulai menggerak-gerakkan pinggang kami hingga kemaluan kami saling bergesekan satu sama lain. Sensasi rasa yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Nafas kami berdua semakin memburu mengimbangi gesekan-gesekan di kemaluan kami yang semakin lama semakin cepat. Posisi ini kami lakukan sambil ia menjilat-jilat telapak kakiku, lalu ia pun mengisap-isap jari-jari kakiku yang menambah rangsangan di tubuhku.
Setelah sekitar 10 menit kami dalam posisi itu, aku pun berteriak dengan nafas yang terengah-engah dan memberitahukannya bahwa aku sebentar lagi keluar karena aku merasakan kemaluanku seperti berdenyut-denyut. Ia pun membalas dengan menjawab bahwa ia pun sebentar lagi akan keluar dan mengusulkan untuk mengeluarkannya bersama-sama. Dalam hitungan detik tubuh kami menggelinjang secara bersamaan tersengat hawa kenikmatan yang menjalar di tubuh kami berdua sampai akhirnya kami berdua terkulai lemas di atas ranjangku dengan nafas terengah-engah dan ranjang yang membasah terkena keringat kami berdua.
Setelah nafas kami mulai normal, dengan tubuh masih telanjang ia memeluk lembut tubuhku lalu mengecup bibirku dengan lembut, lalu setelah itu ia mengecup keningku sambil berkata, "Vy, kamu hebat! makasih ya.."
Cukup lama kami tiduran sambil berpelukan sampai akhirnya ia memutuskan untuk menelepon rumahnya dan memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumahku. Malam itu kami tidur bersama di bawah satu selimut tanpa mengenakan selembar benang pun di tubuh. Sampai sekarang pun ia masih sering menginap di rumahku dan kami pun sering melakukannya dengan berbagai posisi dan variasi. Pernah juga S datang dan membawa sebuah dlido (penis mainan) yang bervibrator sepanjang 20 cm dengan diameter 3 cm dan kami pun sempat bermain-main dengan alat itu. Sekarang ini sudah sekitar 2 minggu kami tidak berkomunikasi lagi. Ia sibuk dengan kegiatannya sendiri dan begitu juga denganku. Demikian cerita nyata saya yang dapat saya ceritakan walaupun dengan tulisan yang jauh dari sempurna ini karena terus terang ini adalah pengalamanku yang pertama kali menulis kisah nyata di sini.
TAMAT
Aku akan menceritakan salah satu pengalaman pribadiku yang tidak pernah terlupakan seumur hidupku. Mungkin apabila aku dikatakan lesbi agak kurang tepat, karena selama ini aku masih tertarik dengan pria. Tapi ada satu keanehan dalam sifatku yang terkadang terangsang ketika melihat sesama jenis, apalagi apabila ia memakai baju yang ketat, atau baju yang sedikit transparan.
Aku memiliki seorang kekasih yang berinisial W. Aku menjalin hubungan dengannya sejak bangku SMA. Hubunganku dengannya sebenarnya belum terlalu jauh. Paling jauh kami hanya melakukan petting dengan masih mengenakan pakaian dalam. Tapi dalam hal yang satu ini seringkali aku tidak terpuaskan. Kekasihku selalu 'keluar' sebelum aku sempat mengalami orgasme.
Singkat cerita, aku menjadi bosan dan mulai mencari-cari pelampiasan. Pada awalnya, ketika suatu malam, kekasihku baru saja pulang dari rumahku setelah kami melakukan petting. Dan seperti biasanya, Ia sudah 'keluar' sebelum sempat aku mengalami orgasme. Malam itu aku begitu kesal. Sampai akhirnya ketika aku sedang tidur-tiduran, dan perasaan itu datang kembali. Horny yang amat sangat. Tanpa kusadari, aku memulai berfantasi tentang hubungan seksual bersama seorang pria kekar, yang begitu jantan dan dapat membuatku orgasme sampai berkali-kali.
Tanpa kusadari tanganku mulai meremas-remas buah dadaku sendiri. Aku sangat terangsang saat itu. Aku sendiri sebenarnya tidak menginginkan untuk bermasturbasi, tetapi dorongan itu sangat kuat, aku hanya merasakan sebuah kenikmatan baru. Sambil terus berfantasi, aku mulai membuka baju kaosku sampai aku hanya menggunakan BH dan celana dalam saja (aku mempunyai kebiasaan hanya memakai kaos tanpa celana apabila aku sedang berada di rumah). Aku meremas-remas, mengelus-elus lembut payudaraku, sambil sesekali memainkan puting susuku. Nafasku mulai tak teratur, tangan kananku mulai bergerak ke bawah, menelusuri perutku, lalu berhenti sebentar di daerah pusarku, lalu memainkannya sebentar, lalu kulanjutkan lagi kebawah, mengelus-elus lembut bagian kemaluanku yang masih tertutup celana dalamku yang berwarna putih dan terbuat dari katun itu. Aku merasakan rangsangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya sekalipun dengan kekasihku sendiri.
Setelah bermain cukup lama di atas celana dalamku, aku mulai meraba-raba masuk ke dalam celana dalamku. Kuelus lembut rambut-rambut halusku yang selama ini rajin kucukur. Kumainkan klitorisku yang sejak tadi sudah menonjol. Kurasakan kelembaban kemaluanku yang sedari tadi sudah terangsang. Aku menggesek-gesekkan jariku di klitorisku. Sampai tubuhku bergetar tak karuan. Ketika aku mulai memainkan bibir kemaluanku, begitu terkejutnya aku ketika tiba-tiba pintu kamarku dibuka dengan cepat, dan ternyata sahabatku yang berinisial S. Betapa terkejut dan malunya aku saat itu karena pada saat itu aku sedang dalam posisi terlentang di tempat tidur dengan hanya menggunakan celana dalam dan bra yang sudah tersingkap, ditambah posisi tangan kananku yang berada di dalam celana dalamku sendiri. Begitu juga S, ia hanya berdiri kaku dan tak berkata sepatah kata pun.
S adalah seorang gadis bertubuh ideal, sampai kadang-kadang aku iri dengan tubuhnya itu. Pinggulnya yang besar, buah dadanya yang ideal (34B) dengan tinggi tubuh sekitar 160 cm, perut langsing. Cukup membuat iri para gadis yang melihatnya.
Setelah beberapa detik kami saling membisu, akhirnya ia memecahkan suasana dengan senyum nakalnya sambil berkata, "Lagi Ngapain Vy?"
Aku hanya dapat menjawab dengan terbata-bata, "Eng.. ngg.. ngga ngapa-ngapain kok.."
Dia hanya membalas ucapanku dengan tersenyum nakal sambil menghampiri tubuhku yang sedang terlentang dan setengah telanjang. Tanpa berkata apa-apa ia mulai mengelus-elus buah dadaku.
Aku sempat tersentak kaget tapi ia berkata, "Santai aja, tadi belom puas ya?"
Aku pada awalnya masih risih ketika ia memulainya, tapi entah mengapa aku hanya diam saja keenakan menerima elusan-elusannya itu. Ia mulai membuka BH-ku dan mulai mencium lembut kedua buah dadaku. Tidak lama kemudian aku sudah terangsang dibuatnya, nafasku mulai tak teratur.
Setelah beberapa menit ia mencium dan menjilati kedua buah dadaku, ia mulai membuka celana dalamku. Ia mulai menjilati mulai dari ibu jari kakiku, naik terus ke betis, ke paha, sampai pangkal pahaku. Menerima perlakuannya itu aku benar-benar terangsang. Badanku mulai gelisah, bergerak ke kiri-kanan mengimbangi jilatan-jilatannya. Ia berhenti sejenak, lalu ia berdiri dan mulai membuka pakaiannya. Ketika itu pula aku melihat kedua buah dadanya yang putih kencang, dan puting susunya yang berwarna coklat muda. Seketika itu juga tanpa kusadari aku jadi tambah terangsang. Terlebih-lebih ketika ia membuka celana dalamnya. Oh, yang kurasakan pada saat itu darahku berdesir dari jantungku menuju kemaluanku yang membuat kemaluanku terasa berdenyut-denyut dibuatnya.
Setelah selesai membuka seluruh pakaiannya, ia kembali naik ke atas tempat tidurku dan kembali menjilati pangkal pahaku sambil sesekali meremas payudaraku. Lalu ia mulai menjilati bibir kemaluanku yang membuatku seperti tersetrum arus listrik, badanku mulai mengejang kenikmatan. Ia menjilati bibir kemaluanku cukup lama sampai ia akhirnya mulai menjilati klitorisku sambil sesekali menggigit kecil klitorisku yang membuatku berkelonjotan.
Setelah agak lama Ia mulai mencoba memasukkan jarinya ke dalam lubang kewanitaanku yang sudah basah itu. Ia memutar-mutar jari tengahnya di mulut liang kewanitaanku beberapa kali sampai akhirnya ia memasukkan jari tengahnya ke dalam liang kewanitaanku dengan perlahan. Leguhan kenikmatan pun keluar dari bibir tipisku. Ia mulai menggerak-gerakkan jari tengahnya maju-mundur dengan irama yang semakin lama semakin cepat. "Ahh.." suara desahan kenikmatan pun tak kuasa kubendung untuk keluar dari bibirku ini. Semakin dalam ia memasukkan jarinya ke liang kewanitaanku, semakin tak kuasa diriku menahan kenikmatan itu sampai akhirnya seluruh tubuhku seperti dialiri suatu hawa kenikmatan yang berpusat pada vaginaku dan menjalar ke seluruh tubuhku. Jeritan yang tertahan disertai tubuh yang menggelinjang kenikmatan hanya dapat kutahan dengan memagut bibir tipisku sambil mencengkram erat bed cover ranjangku. Sungguh suatu perasaan yang sangat luar biasa. Aku hanya terkulai lemas walaupun dalam hati kecil ini masih mengharapkan untuk yang selanjutnya.
Melihat diriku sudah mencapai orgasme, S pun mulai mengarahkan tanganku ke arah buah dadanya yang putih mulus itu. Aku pun langsung menyambutnya dengan elusan-elusan lembut di sekeliling puting susunya, secara perlahan-lahan kuusap, terus ke arah tengah buah dadanya, sampai akhirnya kuusap lembut kedua puting susunya yang sudah menegang sedari tadi. Kukulum kedua jari telunjukku, kubasahi dengan ludahku, lalu kuteruskan memberikan stimulasi di kedua puting susunya. Leguhan yang keluar dari bibirnya semakin membuatku terangsang untuk memberinya stimulasi yang lebih hebat. Lalu aku pun duduk tepat di depannya dan mulai menjilati daun telinga kirinya sambil tetap kedua tanganku memberikan stimulasi di kedua buah dadanya. Kujilat sambil sesekali kugigit-gigit kecil daun telinganya, sambil terus turun ke arah leher, pundak, lalu ke tengah-tengah antara kedua buah dadanya, lalu menuju ke arah buah dadanya yang sebelah kiri. Kujilat terus sampai menuju puting susunya. Lalu aku berhenti di sana, kujilat, kumainkan lidahku di sana sambil sesekali kuhisap dan kugigit-gigit kecil.
Tubuhnya pun mulai terlihat berkeringat, gerakan-gerakannya semakin gelisah sambil menggigit bibir bawahnya, suara leguhan dan desahan pun tak urung keluar dari bibirnya itu. Setelah itu aku menuju ke arah buah dadanya yang sebelah kanan, kulakukan persis sama seperti ketika kustimulasi buah dadanya yang sebelah kiri. Setelah cukup lama lidahku pun mulai bergerak turun ke arah perutnya yang langsing dan putih mulus, terus ke bawah sampai ke pusarnya. Lalu kujilat-jilat pusarnya yang mengakibatkan tubuhnya semakin berkeringat dan berkelonjotan. Dari pusar aku meneruskan lidahku ke bawah, ke arah kemaluannya. Kujilat lembut rambut-rambut kemaluannya, lalu lidahku kuarahkan ke pangkal pahanya. Kucium-cium lembut pangkal pahanya yang membuatnya kegelian. Kusentuh dengan jariku bibir kemaluannya yang sudah basah oleh cairan pelumas yang dikeluarkan oleh vaginanya akibat rangsangan-rangsangan yang tadi kuberikan. Kugesek-gesekkan jariku di sana. Leguhan yang keluar dari bibirnya pun semakin menjadi-jadi mengimbangi semakin banyaknya pula cairan yang keluar dari kemaluannya.
Setelah agak lama jariku kugesek-gesekkan bibir kemaluannya, dengan suaranya yang mendesah, ia pun memintaku untuk menjilati liang kewanitaannya. Tanpa berpikir panjang, aku pun mulai menjilati bibir kemaluannya walaupun saat itulah untuk pertama kalinya aku menjilat bibir kemaluan seorang wanita. Leguhan dan desah nafasnya semakin memburu. Lalu dengan kedua jariku, kutarik lipatan vaginanya ke atas sampai dapat kulihat klitorisnya yang berwarna pink itu, lalu kujilat-jilat dan kuhisap lembut. Tetesan keringatnya pun semakin membasahi tubuh indahnya itu.
Lalu ia menarik tubuhku dan mengajakku untuk membentuk posisi 69 dengan posisiku yang berada di atas. Terus terang, pada saat menstimulasinya kemaluanku pun sudah sangat basah akibat terangsang hebat, walaupun ini adalah untuk pertama kalinya aku berhubungan dengan sejenis. Sambil menjilati klitorisku ia memasukan jari tengahnya ke dalam liang kemaluanku yang sudah basah itu dan menggerak-gerakkan jarinya maju-mundur. Menerima perlakuan itu membuat diriku pun tidak mau kalah dan terus menstimulasi kemaluannya semakin hebat.
Tak lama kemudian tubuhnya terlihat mengejang menandakan orgasmenya telah tiba. Ia menghentikan kegiatannya menstimulasi kemaluanku dan mendekap pinggulku erat sambil meremas kedua pantatku disertai leguhan panjang nikmat dari bibirnya. Dengan nafas yang masih terengah-engah lalu ia menyuruhku mengganti posisi membentuk posisi menyerupai huruf X, dimana kemaluan kami bertemu di tengah-tengah. Kami pun seakan telah terbiasa dengan posisi tersebut mulai menggerak-gerakkan pinggang kami hingga kemaluan kami saling bergesekan satu sama lain. Sensasi rasa yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Nafas kami berdua semakin memburu mengimbangi gesekan-gesekan di kemaluan kami yang semakin lama semakin cepat. Posisi ini kami lakukan sambil ia menjilat-jilat telapak kakiku, lalu ia pun mengisap-isap jari-jari kakiku yang menambah rangsangan di tubuhku.
Setelah sekitar 10 menit kami dalam posisi itu, aku pun berteriak dengan nafas yang terengah-engah dan memberitahukannya bahwa aku sebentar lagi keluar karena aku merasakan kemaluanku seperti berdenyut-denyut. Ia pun membalas dengan menjawab bahwa ia pun sebentar lagi akan keluar dan mengusulkan untuk mengeluarkannya bersama-sama. Dalam hitungan detik tubuh kami menggelinjang secara bersamaan tersengat hawa kenikmatan yang menjalar di tubuh kami berdua sampai akhirnya kami berdua terkulai lemas di atas ranjangku dengan nafas terengah-engah dan ranjang yang membasah terkena keringat kami berdua.
Setelah nafas kami mulai normal, dengan tubuh masih telanjang ia memeluk lembut tubuhku lalu mengecup bibirku dengan lembut, lalu setelah itu ia mengecup keningku sambil berkata, "Vy, kamu hebat! makasih ya.."
Cukup lama kami tiduran sambil berpelukan sampai akhirnya ia memutuskan untuk menelepon rumahnya dan memberitahukan bahwa ia akan menginap di rumahku. Malam itu kami tidur bersama di bawah satu selimut tanpa mengenakan selembar benang pun di tubuh. Sampai sekarang pun ia masih sering menginap di rumahku dan kami pun sering melakukannya dengan berbagai posisi dan variasi. Pernah juga S datang dan membawa sebuah dlido (penis mainan) yang bervibrator sepanjang 20 cm dengan diameter 3 cm dan kami pun sempat bermain-main dengan alat itu. Sekarang ini sudah sekitar 2 minggu kami tidak berkomunikasi lagi. Ia sibuk dengan kegiatannya sendiri dan begitu juga denganku. Demikian cerita nyata saya yang dapat saya ceritakan walaupun dengan tulisan yang jauh dari sempurna ini karena terus terang ini adalah pengalamanku yang pertama kali menulis kisah nyata di sini.
TAMAT
Diana dan Nina
Pukul delapan tepat saat aku melirik jam
tanganku ketika memasuki pintu kantor. Segaris senyuman ramah dari Nina,
seorang resepsionis yang sedang KKN di kantorku menyambutku hangat.
Ucapan selamat pagi kuterima dari Bramanto, satpam kantor yang bertubuh
tinggi besar namun memiliki suara seperti tikus kejepit. Kontras sama
bodinya. Aku balas menyapanya sambil berlalu menuju ruangan kerjaku.
Perusahan tempat aku bekerja ini adalah perusahaan percetakan dan
penerbitan terbesar di Indonesia dan aku adalah salah satu manager di
situ. Usiaku 28 tahun dan ini adalah tahun keempat aku bekerja di sini.
Gelar S1 UI dan S2 di sebuah perguruan tinggi di Australia sepertinya
sangat menolongku mencapai posisi ini dalam waktu relatif cepat. Cukup
cepat sehingga menimbulkan kecemburuan di antara rekan-rekan senior di
sini. Well, bagiku itu problem mereka, yang penting aku tidak menginjak
kepala mereka untuk menduduki jabatan ini.
Ruang kerjaku terletak di lantai 4 di gedung milik perusahaanku. Gedung yang cukup besar karena sekaligus menjadi satu dengan tempat percetakan dan penerbitan. Ruang kerjaku tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil. Cukuplah bagiku untuk bisa melakukan senam-senam kecil di siang hari. Oh iya, itu merupakan salah satu kebiasaanku untuk menghilangkan penat dan merenggangkan otot. Kebiasaan itu terbukti cukup sukses mengurangi stress dalam bekerja.
"Tok.. tok.. tok.."
Terdengar ketukan dan sesaat kemudian seraut wajah muncul dari balik daun pintu itu.
"Hai.. good morning Sar," ucapan itu muncul dari wajah ganteng milik Hendra asistenku.
"Eh.. pagi Hen," jawabku.
"Wah gimana Sar.. masih 'hangover'?" Hendra bertanya sambil melangkah duduk di depan mejaku.
"Thank God nggak tuh.. tadi waktu bangun tidur sih sempet agak pusing tapi sekarang udah nggak lagi tuh."
Hendra semalam yang terpaksa mengantarku pulang karena aku sudah terlalu "Hii" buat mengemudi.
"Sungguh.. aku baru kali itu liat kamu mabuk Sar," ujarnya sambil sebuah map berisi beberapa berkas yang harus kuperiksa.
"Oh ya.. aku juga nggak tau tuh bisa kebablasan minum gitu," aku menjawab dengan enteng sambil membaca berkas-berkas yang disodorkannya.
Hubunganku dengan Hendra memang lebih mirip hubungan antar teman biasa. Aku sendiri yang meminta dia agar bersikap informal dalam hubungan kami. Dia baru mulai bersikap formal dengan memanggilku "Bu" apabila dalam situasi-situasi tertentu seperti dalam rapat atau di depan atasanku. Umur kami berdua hampir sama. Aku cuma lebih tua setahun darinya. Hendra sudah berkeluarga dengan satu orang putra balita. Kami biasa bercerita apa saja mulai dari masalah keluarganya atau kantor bahkan sampai masalah seks kami bicarakan dengan gamblang. Tidak jarang kami suka bertukar "joke-joke" ringan mengenai seks.
Hendra memang ganteng, tapi cara bicara dia yang halus bahkan cenderung kemayu makin membuatku tidak risih dengannya. Kalau bisa dibandingkan, gaya bicara dan tindak tanduknya mirip Syahrul Gunawan bintang sinetron yang kemayu itu. Malahan dalam urusan gosip dia menjadi trend setter di kantorku. Apabila terlihat kerumunan ibu-ibu saat jam makan siang dan suasananya riuh, dapat dipastikan kalau Hendra berada di tengah-tengahnya sedang memberikan laporan up to date-nya tentang gosip hari itu.
"Hen, bagaimana tentang nanti siang? Jam berapa Pak Faisal datang?" tanyaku.
Pak Faisal itu adalah suplier yang akan kutemui siang ini.
"Oh iya.. dia datang setelah jam makan siang."
"Tadi sekretarisnya sudah confirm ke sini," ujarnya lagi menambahkan.
"Eh tau nggak Sar tentang desas-desus Mbak Diana dengan si Nina resepsionis itu?" kata Hendra mulai dengan nada "rumpi"-nya.
Memang akhir-akhir ini di kalangan karyawan di sini tersebar isu yang mengatakan kalau Diana teman kantorku dari bagian finance yang semalam berulang tahun itu seorang lines dan memiliki "affair" dengan Nina resepsionis baru kantorku.
"Ah masa sih.. Diana khan udah punya suami," aku menimpali sambil membereskan beberapa pekerjaanku.
Sebetulnya aku tidak suka ngomongin sesama teman. Apalagi gosipnya termasuk dalam kategori yang aku sukai seperti itu.
"Tapi kayaknya benar tuh.. akhir-akhir ini mereka suka keluar makan siang berdua dan selalu nggak mau gabung kalau diajak makan bareng sama yang lain."
Hendra makin seru dengan gosipnya. Kemudian dengan menurunkan nada suaranya ia berkata,
"Ada lagi yang lebih parah Sar."
Melihat ekspresi Hendra yang serius aku jadi mulai penasaran akan ceritanya.
"Parah gimana?" tanyaku sambil ikut-ikutan merendahkan nada suaraku.
"Si tikus kejepit Bramanto.. pernah liat mereka berdua kiss-kissan sambil pegang-pegangan di toilet?"
Wah, seruku dalam hati. Gosip sih gosip, tapi kalau ternyata memang betul?
"Pervert banget dong.. si Bramanto ngomong bener tuh?"
Kini aku benar-benar tertarik. Tak dapat terbayangkan olehku kalau di kantor ini telah terjadi hal-hal yang betul-betul "kinky" itu. Bisa-bisa aku tambah betah di sini.
"Aku sih percaya omongan dia, lagi pula kamu nggak tau yah kalo semalam Mbak Diana tuh pulangnya bareng Nina. Lagian baru kali ini khan anak resepsionis yang masih baru udah diundang acara-acara luaran kita," katanya lagi.
Wah aku tidak sanggup meneruskan bayanganku tentang hubungan mereka itu.
"Ah that's enough Hen.. aku sih mending diam ajalah.. kecuali benar-benar ngeliat di depan mata kepala sendiri," kataku, ingin segera menyudahi pembicaraan ini karena aku merasa bersalah sudah membayangkan Diana melakukan perbuatan itu.
"Ok, ok terserah kamu deh Sar, moga-moga juga gosip itu nggak bener semua, aku cerita ke kamu aja sih soalnya khan kamu termasuk dekat sama Mbak Diana."
Kalimat Hendra seakan mencari pembenaran bagi ke-"ember"-annya itu.
"Knock it off.. will u.." kataku sambil bercanda dan mengibaskan tanganku seakan aku tidak begitu tertarik dengan gosip itu.
"I think we better back to work. Ndra tolong kamu siapkan berkas penawaran dari suplier sebelumnya and I want it on my desk before lunch time."
Sudah cukup "chit-chat"-nya dan aku kembali ke gaya kantoran lagi.
"Ok deh Mam, eh kamu mau lunch bareng nggak nanti?" Hendra bertanya sambil melangkah menuju pintu.
"Mmm.. aku mau makan siang di sini aja.. thanks buat ajakannya," jawabku.
"Snip!" Hendra membalas dengan menjentikan jarinya lalu jari telunjuknya mengarah padaku lalu dengan gaya kartunnya yang agak ngeselin dia mengedipkan matanya sambil berucap,
"See u then."
Grown up man! itu yang terucap dalam hatiku melihat tingkah Hendra yang kadang masih kekanakan. Anyway, kalau tidak ada dia aku kesepian juga sih, soalnya dia orangnya easy goingdan asyik saja (kecuali kalau kami lagi serius kerja). Geli juga sih membayangkan bagaimana kelakuan dia di rumah. Kan dia sudah berkeluarga. Gimana cara istrinya menghadapi sifat "rumpi" dan childish suaminya itu?
Sore itu selepas jam kantor aku masih saja berada di ruang kerjaku. Seperti biasa aku membereskan semua sisa pekerjaanku sekaligus semacam evaluasi pribadi akan kinerjaku hari itu. Itu merupakan salah satu kebiasaanku karena aku tidak mau ada sesuatu yang tercecer atau tertinggal hingga membuatku repot di hari berikutnya. Dan seperti biasanya suasana lalulintas di depan kantorku sangat padat (tidak cuma di depan kantorku sih, di Jakarta memang dimana-mana padat kalau jam pulang kantor). Biasanya aku suka mampir di "Playan" yang kebetulan dekat dengan kantorku dan bersama beberapa rekan kantor "hangout" di Kafe Wien sampai keadaan jalan mulai lenggang baru pulang. Tapi saat itu aku malas beranjak keluar kantor dan iseng browsing di internet sambil minum Capucino. 20 menit kemudian aku merasa harus segera ke toilet dan seperti biasa aku suka menggunakan toilet yang terletak di bagian direksi. Alasanku adalah karena toilet wanita di sana lebih jarang digunakan karena biasa hanya digunakan oleh tamu direksi yang wanita dan para sekretaris direksi saja (lagipula para direksinya adalah pria semuanya).
Aku melintasi ruang kantor utama yang sudah kosong menuju ke bagian selatan lantai 4 ini. Di bagian direksi sebagian besar lampu sudah dipadamkan sehingga hanya lampu-lampu di koridor saja yang masih tetap menyala. Sebenarnya suasana temaram dan sepi ini agak menyeramkan tapi karena sudah empat tahun bekerja di sini aku sudah familiar dengan suasana gedung ini. Lagipula di lantai satu dan dua di bagian produksi kegiatan tetap berlangsung dan masih ramai dengan pekerja. Aku memasuki toilet wanita yang terletak di tempat paling ujung bagian direksi. Lampunya masih menyala dan tanpa ragu aku melangkah masuk ke dalamnya. Begitu memasuki toilet aku langsung melewati jajaran wastafel di kedua sisi dengan cermin sepanjang dinding kedua sisinya. Ada empat bilik toilet di dalamnya. Di pintu masuk dua bilik pertama tergantung sign "RUSAK/DALAM PERBAIKAN" sehingga aku memasuki pintu ketiga. Ketika aku sedang duduk di toilet itu ada perasaan aneh yang muncul. Perasaan yang mengatakan kalau aku tidak sendiri di ruangan ini. Insting-ku seperti merasakan kehadiran orang lain di ruangan ini. Aku segera mengusir perasaan itu jauh-jauh dan segera setelah selesai buang air kecil aku segera membersihkan diri (tentunya flushing the toilet juga) lalu ingin segera meninggalkan ruangan yang mulai "spooky" itu.
Belum sempat aku keluar tiba-tiba pintu masuk toilet terbuka dan terdengar langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa. Ada sedikit suara bisik-bisik singkat yang membuatku mengenali suara itu. Itu suara Diana! rasa ingin tahuku keluar hingga aku perlahan membuka pintu bilik-ku mengintip. Rupanya mereka berada di sisi yang sama dengan jajaran bilik toilet sehingga aku tidak dapat melihat langsung ke arah mereka. Akan tetapi cermin besar sepanjang sisi seberangnya membuatku bisa melihat mereka melalui cermin itu. Dan apa yang kulihat benar-benar membuat kedua lututku gemetar. Diana dan Nina si resepsionis sedang bergelut penuh nafsu birahi! kulihat bibir keduanya saling menempel erat dan desah nafas mereka berdua terdengar keras memenuhi ruangan itu. Perasaan antara jijik dan shock aku rasakan menyaksikan dua orang wanita yang kukenal melakukan hubungan sejenis di depan mataku. Ingin aku memalingkan muka karena muak melihat perbuatan mereka namun rasa ingin tahuku terlalu kuat hingga aku menyaksikan "permainan" mereka dari balik pintu toilet ini.
Dan apa yang kulihat benar-benar membuat kedua lututku gemetar kesenangan. Diana dan Nina si resepsionis sedang bergelut penuh nafsu birahi. Kulihat bibir keduanya saling menempel erat dan desah nafas mereka berdua terdengar keras memenuhi ruangan itu. Perasaan antara ingin turut ambil bagian dan shock menyelimutiku menyaksikan dua orang wanita yang kukenal melakukan hubungan sejenis di depan mataku. Diana terlihat lebih mendominasi "pergumulan" itu sedangkan Nina lebih tampak sebagai objek pemuas. Tangan Diana tampak begitu rakus dan liar menjelajahi setiap lekuk tubuh Nina. Dua pasang tangan yang halus dan lentik terlihat tergesa-gesa saling mencopot pakaian bagian atas pasangan masing-masing. Sepasang bibir yang sama-sama mengenakan lipstik tampak sangat tidak wajar saling menempel lekat seperti itu. Bahkan bayanganku tentang hubungan lesbian selama ini tidak se-"seram" kenyataan yang terlihat gamblang di depan mataku.
Aku menarik nafas panjang dan sejenak berusaha menerima fakta di depanku bahwa gosip si Hendra benar dan cerita Bramanto si satpam juga benar adanya. Tapi mengapa harus Diana? mengapa harus teman yang telah kukenal sejak pertama kali aku kerja di sini dan mulai cukup dekat dua tahun terakhir ini. Aku tidak menyebut akrab karena hubunganku dengannya memang hanya sebatas hubungan kantor dan di acara-acara luar kantor yang melibatkan orang-orang dari kantor (such as ultah-nya semalam). Oh iya Diana adalah wanita yang telah berumah tangga, usianya 30 tahun, wajahnya menarik dan memiliki pesona kematangan seorang wanita yang pastinya sangat seksi khususnya di mata pria-pria berpendidikan yang suka dengan wanita yang memiliki intelektualitas dan mandiri. Nina sendiri masih terlihat sangat muda, mungkin sekitar 22-23 tahun umurnya, kulitnya kuning langsat dan wajahnya khas Mojang Priangan dengan kecantikan yang lumayan. Kulitnya tampak kencang dengan payudara dan bagian pantat yang cukup montok. Tubuhnya lumayan jangkung dan jujur saja membuatku iri (padahal tinggi badanku yang 162 cm ini menurut teman-teman sudah cukup tinggi). Tapi tetap saja aku iri dengan tinggi badannya, titik.
Saling bergantian kedua wanita itu melepaskan nafsu mereka, meremas dan kemudian menghisap, menjilat (etc.. etc segala jenisnya) payudara pasangannya. Kemudian tubuh Nina yang langsing itu tampak beranjak duduk di atas wastafel. Diana dengan sigap menarik celana dalam pasangannya sampai lepas hingga tersangkut di sebelah kakinya lalu melakukan oral. WOW!! Tubuh Diana dalam posisi berlutut. Kepalanya tepat berada di antara paha milik Nina yang kadang-kadang menutup mengejang menahan geli. Kuperhatikan wajah Nina yang sangat "ekspresif" menterjemahkan tiap kenikmatan yang dirasakannya. Matanya yang sayu terbius kenikmatan kadang agak mendelik dan kadang terpejam dalam waktu lama seiring gelombang kenikmatan yang datang menerpanya bagaikan ombak memecah pantai silih berganti. Kedua telapak tangannya yang halus itupun seperti mengikuti irama yang sama dengan ekspresi wajahnya menjelajahi tiap bagian dadanya sendiri. Terkadang tangannya membelai, kadang seperti menggaruk dan memelintir kedua ujung payudaranya sendiri. Dia menikmati itu semua serasa dia hanya sendiri di ruangan ini. Kedua pasangan itu tampak seperti menikmati permainan mereka dengan cara sendiri-sendiri. Kurasakan detak jantungku kian berdentang kencang dan nafasku kian berat. Lambat tapi pasti fantasi memenuhi kepalaku.
Aku membayangkan kenikmatan saat aku melakukan masturbasi tadi siang. Posisiku yang sedang mengintip menimbulkan semacam sense of privacy yang membuatku makin tenggelam dalam permainan panas yang disuguhkan dua insan sejenis di depan mataku. Aku merasakan ada suatu pesona unik dalam tiap geliat tubuhnya itu. Pesona yang kuyakin dilihat juga oleh partner-partner seks-ku dalam diriku. Sekarang Diana sudah duduk di tepi wastafel di samping Nina mereka berciuman sejenak lalu keduanya merogoh tas masing-masing dan mengeluarkan masing-masing mengeluarkan benda panjang dan lonjong yang sudah sangat aku kenal, dildo! My God.. mereka pasti sudah merencanakan ini, aku terkejut melihat "peralatan" mereka yang cukup lengkap itu (jelas menunjukan niat mereka). Kedua dildo itu berwarna biru muda dan memiliki ukuran panjang sekitar 20 cm (sepertinya dibeli bersamaan di satu tempat melihat model dan warnanya seragam). Aku cukup akrab dengan "mainan" itu karena aku memiliki koleksi-nya di rumah. Aku memiliki dua buah alat stimulasi sejenis. Sebuah Dual-dildo (dildo yang memiliki dua "kepala" sehingga bisa digunakan bersamaan dengan arah yang berlawanan), dan satu vibrator jenis standar yaitu dildo yang mampu bergetar dengan tenaga batere dengan tiga tingkatan kecepatan yang dapat diganti-ganti.
Diana dan Nina duduk bersandar pada cermin di atas wastafel. Kini giliran Nina yang gencar mencumbui leher Diana yang tampak mengkilat bersimbah peluh. Keduanya menggenggam dildo masing-masing dengan pegangan yang begitu mesra serasa seperti memegang sasuatu yang lain. Sesuatu yang dengan jelas dan eksplisit direpresentasikan oleh bentuk dildo itu. Sekitar 10 menit kemudian ruangan toilet itu dipenuhi suara nafas dan lenguh kenikmatan tatkala sepasang wanita cantik itu mulai menggunakan "mainan" mereka sesuai dengan kegunaannya. Kakiku mulai terasa letih disaat Diana dan Nina mulai melenguh panjang dengan nafas yang menderu saling bersahutan. Makin liar mereka memainkan dildo di tangan mereka yang tersembunyi di dalam rok kerja mereka. Jelas terlihat guratan kenikmatan memenuhi ekspresi Diana. Sedangkan wajah Nina terlihat mulai blushing, merah padam. Sedetik kemudian tubuh mereka berdua mengejang menahan derasnya orgasme yang jelas terlihat menyelimuti getaran tubuh mereka berdua. Mereka bagai hendak menghujamkan dildo itu sampai tertelan semuanya dalam kewanitaan mereka dan tangan mereka yang bebas saling menggenggam erat. Begitu eratnya sehingga baru terlepas perlahan sesaat setelah desahan nafas kenikmatan terakhir mereka berlalu.
Aku merasa sudah cukup melihat semuanya. Lebih dari cukup buatku menyaksikan suatu pemandangan yang membuatku cukup "shock" sekaligus membawa sensasi kenikmatan dan keindahan tertentu dalam diriku. Yang jelas aku seperti melihat sesuatu yang baru dalam diri kaumku sendiri. Lesbian itu nyata adanya! Aku terduduk lemas di atas tutup closet. Terasa peluh di bagian leherku mengalir hingga ke dadaku. Aku terus diam sampai mereka berdua meninggalkan ruangan dengan hanya memperdengarkan suara pintu yang ditutup perlahan. Lega rasanya bebas setelah terjebak dalam toilet akibat ulah sepasang wanita yang dimabuk "cinta" tadi. Bagiku kata mabuk saja lebih cocok dibanding kata cinta. My God! dalam keadaan mabuk berat sekalipun aku masih cukup waras untuk tidak bercumbu dengan pasangan sejenis. Segera aku keluar dan ketika melewati deretan wastafel aku menyempatkan diri merapikan diri di depan cermin. Tentunya aku tidak bercermin di deretan wastafel tempat Diana dan Nina tadi karena ada semacam perasaan "emoh" tapi ingin menyentuh ataupun mendekati bekas tempat mereka "bermain" tadi. Bahkan aku masih merasakan sisa aura mereka di bagian itu.
Kejadian itu terus kuingat dan aku sengaja tidak keluar untuk bermain threesome dengan mereka karena aku akan menggunakannya supaya aku dapat merasakan manisnya kemaluan mereka berdua (yang aku akhirnya rasakan) tapi nanti akan aku ceritakan pada para pembaca sekalian.
Ruang kerjaku terletak di lantai 4 di gedung milik perusahaanku. Gedung yang cukup besar karena sekaligus menjadi satu dengan tempat percetakan dan penerbitan. Ruang kerjaku tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil. Cukuplah bagiku untuk bisa melakukan senam-senam kecil di siang hari. Oh iya, itu merupakan salah satu kebiasaanku untuk menghilangkan penat dan merenggangkan otot. Kebiasaan itu terbukti cukup sukses mengurangi stress dalam bekerja.
"Tok.. tok.. tok.."
Terdengar ketukan dan sesaat kemudian seraut wajah muncul dari balik daun pintu itu.
"Hai.. good morning Sar," ucapan itu muncul dari wajah ganteng milik Hendra asistenku.
"Eh.. pagi Hen," jawabku.
"Wah gimana Sar.. masih 'hangover'?" Hendra bertanya sambil melangkah duduk di depan mejaku.
"Thank God nggak tuh.. tadi waktu bangun tidur sih sempet agak pusing tapi sekarang udah nggak lagi tuh."
Hendra semalam yang terpaksa mengantarku pulang karena aku sudah terlalu "Hii" buat mengemudi.
"Sungguh.. aku baru kali itu liat kamu mabuk Sar," ujarnya sambil sebuah map berisi beberapa berkas yang harus kuperiksa.
"Oh ya.. aku juga nggak tau tuh bisa kebablasan minum gitu," aku menjawab dengan enteng sambil membaca berkas-berkas yang disodorkannya.
Hubunganku dengan Hendra memang lebih mirip hubungan antar teman biasa. Aku sendiri yang meminta dia agar bersikap informal dalam hubungan kami. Dia baru mulai bersikap formal dengan memanggilku "Bu" apabila dalam situasi-situasi tertentu seperti dalam rapat atau di depan atasanku. Umur kami berdua hampir sama. Aku cuma lebih tua setahun darinya. Hendra sudah berkeluarga dengan satu orang putra balita. Kami biasa bercerita apa saja mulai dari masalah keluarganya atau kantor bahkan sampai masalah seks kami bicarakan dengan gamblang. Tidak jarang kami suka bertukar "joke-joke" ringan mengenai seks.
Hendra memang ganteng, tapi cara bicara dia yang halus bahkan cenderung kemayu makin membuatku tidak risih dengannya. Kalau bisa dibandingkan, gaya bicara dan tindak tanduknya mirip Syahrul Gunawan bintang sinetron yang kemayu itu. Malahan dalam urusan gosip dia menjadi trend setter di kantorku. Apabila terlihat kerumunan ibu-ibu saat jam makan siang dan suasananya riuh, dapat dipastikan kalau Hendra berada di tengah-tengahnya sedang memberikan laporan up to date-nya tentang gosip hari itu.
"Hen, bagaimana tentang nanti siang? Jam berapa Pak Faisal datang?" tanyaku.
Pak Faisal itu adalah suplier yang akan kutemui siang ini.
"Oh iya.. dia datang setelah jam makan siang."
"Tadi sekretarisnya sudah confirm ke sini," ujarnya lagi menambahkan.
"Eh tau nggak Sar tentang desas-desus Mbak Diana dengan si Nina resepsionis itu?" kata Hendra mulai dengan nada "rumpi"-nya.
Memang akhir-akhir ini di kalangan karyawan di sini tersebar isu yang mengatakan kalau Diana teman kantorku dari bagian finance yang semalam berulang tahun itu seorang lines dan memiliki "affair" dengan Nina resepsionis baru kantorku.
"Ah masa sih.. Diana khan udah punya suami," aku menimpali sambil membereskan beberapa pekerjaanku.
Sebetulnya aku tidak suka ngomongin sesama teman. Apalagi gosipnya termasuk dalam kategori yang aku sukai seperti itu.
"Tapi kayaknya benar tuh.. akhir-akhir ini mereka suka keluar makan siang berdua dan selalu nggak mau gabung kalau diajak makan bareng sama yang lain."
Hendra makin seru dengan gosipnya. Kemudian dengan menurunkan nada suaranya ia berkata,
"Ada lagi yang lebih parah Sar."
Melihat ekspresi Hendra yang serius aku jadi mulai penasaran akan ceritanya.
"Parah gimana?" tanyaku sambil ikut-ikutan merendahkan nada suaraku.
"Si tikus kejepit Bramanto.. pernah liat mereka berdua kiss-kissan sambil pegang-pegangan di toilet?"
Wah, seruku dalam hati. Gosip sih gosip, tapi kalau ternyata memang betul?
"Pervert banget dong.. si Bramanto ngomong bener tuh?"
Kini aku benar-benar tertarik. Tak dapat terbayangkan olehku kalau di kantor ini telah terjadi hal-hal yang betul-betul "kinky" itu. Bisa-bisa aku tambah betah di sini.
"Aku sih percaya omongan dia, lagi pula kamu nggak tau yah kalo semalam Mbak Diana tuh pulangnya bareng Nina. Lagian baru kali ini khan anak resepsionis yang masih baru udah diundang acara-acara luaran kita," katanya lagi.
Wah aku tidak sanggup meneruskan bayanganku tentang hubungan mereka itu.
"Ah that's enough Hen.. aku sih mending diam ajalah.. kecuali benar-benar ngeliat di depan mata kepala sendiri," kataku, ingin segera menyudahi pembicaraan ini karena aku merasa bersalah sudah membayangkan Diana melakukan perbuatan itu.
"Ok, ok terserah kamu deh Sar, moga-moga juga gosip itu nggak bener semua, aku cerita ke kamu aja sih soalnya khan kamu termasuk dekat sama Mbak Diana."
Kalimat Hendra seakan mencari pembenaran bagi ke-"ember"-annya itu.
"Knock it off.. will u.." kataku sambil bercanda dan mengibaskan tanganku seakan aku tidak begitu tertarik dengan gosip itu.
"I think we better back to work. Ndra tolong kamu siapkan berkas penawaran dari suplier sebelumnya and I want it on my desk before lunch time."
Sudah cukup "chit-chat"-nya dan aku kembali ke gaya kantoran lagi.
"Ok deh Mam, eh kamu mau lunch bareng nggak nanti?" Hendra bertanya sambil melangkah menuju pintu.
"Mmm.. aku mau makan siang di sini aja.. thanks buat ajakannya," jawabku.
"Snip!" Hendra membalas dengan menjentikan jarinya lalu jari telunjuknya mengarah padaku lalu dengan gaya kartunnya yang agak ngeselin dia mengedipkan matanya sambil berucap,
"See u then."
Grown up man! itu yang terucap dalam hatiku melihat tingkah Hendra yang kadang masih kekanakan. Anyway, kalau tidak ada dia aku kesepian juga sih, soalnya dia orangnya easy goingdan asyik saja (kecuali kalau kami lagi serius kerja). Geli juga sih membayangkan bagaimana kelakuan dia di rumah. Kan dia sudah berkeluarga. Gimana cara istrinya menghadapi sifat "rumpi" dan childish suaminya itu?
Sore itu selepas jam kantor aku masih saja berada di ruang kerjaku. Seperti biasa aku membereskan semua sisa pekerjaanku sekaligus semacam evaluasi pribadi akan kinerjaku hari itu. Itu merupakan salah satu kebiasaanku karena aku tidak mau ada sesuatu yang tercecer atau tertinggal hingga membuatku repot di hari berikutnya. Dan seperti biasanya suasana lalulintas di depan kantorku sangat padat (tidak cuma di depan kantorku sih, di Jakarta memang dimana-mana padat kalau jam pulang kantor). Biasanya aku suka mampir di "Playan" yang kebetulan dekat dengan kantorku dan bersama beberapa rekan kantor "hangout" di Kafe Wien sampai keadaan jalan mulai lenggang baru pulang. Tapi saat itu aku malas beranjak keluar kantor dan iseng browsing di internet sambil minum Capucino. 20 menit kemudian aku merasa harus segera ke toilet dan seperti biasa aku suka menggunakan toilet yang terletak di bagian direksi. Alasanku adalah karena toilet wanita di sana lebih jarang digunakan karena biasa hanya digunakan oleh tamu direksi yang wanita dan para sekretaris direksi saja (lagipula para direksinya adalah pria semuanya).
Aku melintasi ruang kantor utama yang sudah kosong menuju ke bagian selatan lantai 4 ini. Di bagian direksi sebagian besar lampu sudah dipadamkan sehingga hanya lampu-lampu di koridor saja yang masih tetap menyala. Sebenarnya suasana temaram dan sepi ini agak menyeramkan tapi karena sudah empat tahun bekerja di sini aku sudah familiar dengan suasana gedung ini. Lagipula di lantai satu dan dua di bagian produksi kegiatan tetap berlangsung dan masih ramai dengan pekerja. Aku memasuki toilet wanita yang terletak di tempat paling ujung bagian direksi. Lampunya masih menyala dan tanpa ragu aku melangkah masuk ke dalamnya. Begitu memasuki toilet aku langsung melewati jajaran wastafel di kedua sisi dengan cermin sepanjang dinding kedua sisinya. Ada empat bilik toilet di dalamnya. Di pintu masuk dua bilik pertama tergantung sign "RUSAK/DALAM PERBAIKAN" sehingga aku memasuki pintu ketiga. Ketika aku sedang duduk di toilet itu ada perasaan aneh yang muncul. Perasaan yang mengatakan kalau aku tidak sendiri di ruangan ini. Insting-ku seperti merasakan kehadiran orang lain di ruangan ini. Aku segera mengusir perasaan itu jauh-jauh dan segera setelah selesai buang air kecil aku segera membersihkan diri (tentunya flushing the toilet juga) lalu ingin segera meninggalkan ruangan yang mulai "spooky" itu.
Belum sempat aku keluar tiba-tiba pintu masuk toilet terbuka dan terdengar langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa. Ada sedikit suara bisik-bisik singkat yang membuatku mengenali suara itu. Itu suara Diana! rasa ingin tahuku keluar hingga aku perlahan membuka pintu bilik-ku mengintip. Rupanya mereka berada di sisi yang sama dengan jajaran bilik toilet sehingga aku tidak dapat melihat langsung ke arah mereka. Akan tetapi cermin besar sepanjang sisi seberangnya membuatku bisa melihat mereka melalui cermin itu. Dan apa yang kulihat benar-benar membuat kedua lututku gemetar. Diana dan Nina si resepsionis sedang bergelut penuh nafsu birahi! kulihat bibir keduanya saling menempel erat dan desah nafas mereka berdua terdengar keras memenuhi ruangan itu. Perasaan antara jijik dan shock aku rasakan menyaksikan dua orang wanita yang kukenal melakukan hubungan sejenis di depan mataku. Ingin aku memalingkan muka karena muak melihat perbuatan mereka namun rasa ingin tahuku terlalu kuat hingga aku menyaksikan "permainan" mereka dari balik pintu toilet ini.
Dan apa yang kulihat benar-benar membuat kedua lututku gemetar kesenangan. Diana dan Nina si resepsionis sedang bergelut penuh nafsu birahi. Kulihat bibir keduanya saling menempel erat dan desah nafas mereka berdua terdengar keras memenuhi ruangan itu. Perasaan antara ingin turut ambil bagian dan shock menyelimutiku menyaksikan dua orang wanita yang kukenal melakukan hubungan sejenis di depan mataku. Diana terlihat lebih mendominasi "pergumulan" itu sedangkan Nina lebih tampak sebagai objek pemuas. Tangan Diana tampak begitu rakus dan liar menjelajahi setiap lekuk tubuh Nina. Dua pasang tangan yang halus dan lentik terlihat tergesa-gesa saling mencopot pakaian bagian atas pasangan masing-masing. Sepasang bibir yang sama-sama mengenakan lipstik tampak sangat tidak wajar saling menempel lekat seperti itu. Bahkan bayanganku tentang hubungan lesbian selama ini tidak se-"seram" kenyataan yang terlihat gamblang di depan mataku.
Aku menarik nafas panjang dan sejenak berusaha menerima fakta di depanku bahwa gosip si Hendra benar dan cerita Bramanto si satpam juga benar adanya. Tapi mengapa harus Diana? mengapa harus teman yang telah kukenal sejak pertama kali aku kerja di sini dan mulai cukup dekat dua tahun terakhir ini. Aku tidak menyebut akrab karena hubunganku dengannya memang hanya sebatas hubungan kantor dan di acara-acara luar kantor yang melibatkan orang-orang dari kantor (such as ultah-nya semalam). Oh iya Diana adalah wanita yang telah berumah tangga, usianya 30 tahun, wajahnya menarik dan memiliki pesona kematangan seorang wanita yang pastinya sangat seksi khususnya di mata pria-pria berpendidikan yang suka dengan wanita yang memiliki intelektualitas dan mandiri. Nina sendiri masih terlihat sangat muda, mungkin sekitar 22-23 tahun umurnya, kulitnya kuning langsat dan wajahnya khas Mojang Priangan dengan kecantikan yang lumayan. Kulitnya tampak kencang dengan payudara dan bagian pantat yang cukup montok. Tubuhnya lumayan jangkung dan jujur saja membuatku iri (padahal tinggi badanku yang 162 cm ini menurut teman-teman sudah cukup tinggi). Tapi tetap saja aku iri dengan tinggi badannya, titik.
Saling bergantian kedua wanita itu melepaskan nafsu mereka, meremas dan kemudian menghisap, menjilat (etc.. etc segala jenisnya) payudara pasangannya. Kemudian tubuh Nina yang langsing itu tampak beranjak duduk di atas wastafel. Diana dengan sigap menarik celana dalam pasangannya sampai lepas hingga tersangkut di sebelah kakinya lalu melakukan oral. WOW!! Tubuh Diana dalam posisi berlutut. Kepalanya tepat berada di antara paha milik Nina yang kadang-kadang menutup mengejang menahan geli. Kuperhatikan wajah Nina yang sangat "ekspresif" menterjemahkan tiap kenikmatan yang dirasakannya. Matanya yang sayu terbius kenikmatan kadang agak mendelik dan kadang terpejam dalam waktu lama seiring gelombang kenikmatan yang datang menerpanya bagaikan ombak memecah pantai silih berganti. Kedua telapak tangannya yang halus itupun seperti mengikuti irama yang sama dengan ekspresi wajahnya menjelajahi tiap bagian dadanya sendiri. Terkadang tangannya membelai, kadang seperti menggaruk dan memelintir kedua ujung payudaranya sendiri. Dia menikmati itu semua serasa dia hanya sendiri di ruangan ini. Kedua pasangan itu tampak seperti menikmati permainan mereka dengan cara sendiri-sendiri. Kurasakan detak jantungku kian berdentang kencang dan nafasku kian berat. Lambat tapi pasti fantasi memenuhi kepalaku.
Aku membayangkan kenikmatan saat aku melakukan masturbasi tadi siang. Posisiku yang sedang mengintip menimbulkan semacam sense of privacy yang membuatku makin tenggelam dalam permainan panas yang disuguhkan dua insan sejenis di depan mataku. Aku merasakan ada suatu pesona unik dalam tiap geliat tubuhnya itu. Pesona yang kuyakin dilihat juga oleh partner-partner seks-ku dalam diriku. Sekarang Diana sudah duduk di tepi wastafel di samping Nina mereka berciuman sejenak lalu keduanya merogoh tas masing-masing dan mengeluarkan masing-masing mengeluarkan benda panjang dan lonjong yang sudah sangat aku kenal, dildo! My God.. mereka pasti sudah merencanakan ini, aku terkejut melihat "peralatan" mereka yang cukup lengkap itu (jelas menunjukan niat mereka). Kedua dildo itu berwarna biru muda dan memiliki ukuran panjang sekitar 20 cm (sepertinya dibeli bersamaan di satu tempat melihat model dan warnanya seragam). Aku cukup akrab dengan "mainan" itu karena aku memiliki koleksi-nya di rumah. Aku memiliki dua buah alat stimulasi sejenis. Sebuah Dual-dildo (dildo yang memiliki dua "kepala" sehingga bisa digunakan bersamaan dengan arah yang berlawanan), dan satu vibrator jenis standar yaitu dildo yang mampu bergetar dengan tenaga batere dengan tiga tingkatan kecepatan yang dapat diganti-ganti.
Diana dan Nina duduk bersandar pada cermin di atas wastafel. Kini giliran Nina yang gencar mencumbui leher Diana yang tampak mengkilat bersimbah peluh. Keduanya menggenggam dildo masing-masing dengan pegangan yang begitu mesra serasa seperti memegang sasuatu yang lain. Sesuatu yang dengan jelas dan eksplisit direpresentasikan oleh bentuk dildo itu. Sekitar 10 menit kemudian ruangan toilet itu dipenuhi suara nafas dan lenguh kenikmatan tatkala sepasang wanita cantik itu mulai menggunakan "mainan" mereka sesuai dengan kegunaannya. Kakiku mulai terasa letih disaat Diana dan Nina mulai melenguh panjang dengan nafas yang menderu saling bersahutan. Makin liar mereka memainkan dildo di tangan mereka yang tersembunyi di dalam rok kerja mereka. Jelas terlihat guratan kenikmatan memenuhi ekspresi Diana. Sedangkan wajah Nina terlihat mulai blushing, merah padam. Sedetik kemudian tubuh mereka berdua mengejang menahan derasnya orgasme yang jelas terlihat menyelimuti getaran tubuh mereka berdua. Mereka bagai hendak menghujamkan dildo itu sampai tertelan semuanya dalam kewanitaan mereka dan tangan mereka yang bebas saling menggenggam erat. Begitu eratnya sehingga baru terlepas perlahan sesaat setelah desahan nafas kenikmatan terakhir mereka berlalu.
Aku merasa sudah cukup melihat semuanya. Lebih dari cukup buatku menyaksikan suatu pemandangan yang membuatku cukup "shock" sekaligus membawa sensasi kenikmatan dan keindahan tertentu dalam diriku. Yang jelas aku seperti melihat sesuatu yang baru dalam diri kaumku sendiri. Lesbian itu nyata adanya! Aku terduduk lemas di atas tutup closet. Terasa peluh di bagian leherku mengalir hingga ke dadaku. Aku terus diam sampai mereka berdua meninggalkan ruangan dengan hanya memperdengarkan suara pintu yang ditutup perlahan. Lega rasanya bebas setelah terjebak dalam toilet akibat ulah sepasang wanita yang dimabuk "cinta" tadi. Bagiku kata mabuk saja lebih cocok dibanding kata cinta. My God! dalam keadaan mabuk berat sekalipun aku masih cukup waras untuk tidak bercumbu dengan pasangan sejenis. Segera aku keluar dan ketika melewati deretan wastafel aku menyempatkan diri merapikan diri di depan cermin. Tentunya aku tidak bercermin di deretan wastafel tempat Diana dan Nina tadi karena ada semacam perasaan "emoh" tapi ingin menyentuh ataupun mendekati bekas tempat mereka "bermain" tadi. Bahkan aku masih merasakan sisa aura mereka di bagian itu.
Kejadian itu terus kuingat dan aku sengaja tidak keluar untuk bermain threesome dengan mereka karena aku akan menggunakannya supaya aku dapat merasakan manisnya kemaluan mereka berdua (yang aku akhirnya rasakan) tapi nanti akan aku ceritakan pada para pembaca sekalian.
Gadis Manisku
Namaku Dian Ratnasari (nama
samaran). Umur 23 tahun. Aku mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di
Bandung. Asalku dari Jawa Timur, jadi niatnya cuma belajar di Bandung
ini. Siapa tahu bisa jadi tukang insinyur. Aku tinggal di kawasan Dago,
menempati sebuah rumah yang cukup luas milik keluarga pamanku. Rumah itu
sepi dengan beberapa kamar kosong. Hanya ada aku, seorang pembantu yang
cukup tua dan dua ekor anjing peliharaanku serta beberapa ikan di dalam
akuarium di sudut ruang tamuku. Keluarga pamanku tinggal di Inggris,
karena tugas belajar yang harus ia lakukan.
Berawal dari inisiasi dan orientasi kampus yang dilakukan kakak-kakak tingkatanku, aku berkenalan dengan seorang teman gadis bernama Santi. Gadis yang manis, dengan tinggi sekitar 160 cm, berkulit kuning langsat. Waktu itu, aku sangat kasihan kalau melihat ia menerima hukuman yang menurutku sangat dibuat-buat oleh seniorku. Disuruh mencium-lah, meraba, dan push-up di bawah mereka. Akh.. sialan, seribu topan badai! Aku sungguh tidak terima dan biasa gaya sok jagoanku muncul. Kudekati seniorku dan kuhajar dengan beberapa jurus perkenalan dariku. Yah, gini-gini aku cukup menguasai karate dan pencak silat, menyerang dan bertahan, dua hal yang sangat kusenangi. Maklumlah aku suka berkelahi dari kecil.
Beberapa senior pun mulai mengeroyokku. Sambil tentu saja, terjatuh-jatuh menerima tendangan dan libatan tanganku. Apa hendak dikata salah satu senior, yah mungkin ia termasuk pimpinan mahasiswa di kampusku melerai kami dan memberi hukuman pada kami semua. Lari-lari mengitari kampus sambil menyanyi dan menari, dasar!
But never mind, yang terpenting gadis manis itu tidak lagi digoda dan diganggu. Mungkin mereka malu atau takut kalau selesai masa yang harus dilalui mahasiswa baru ini bakal ketemu aku dan bisa benar-benar kuhajar mereka. Bagaimanapun yang lemah harus dibela.
Seminggu kemuRatna, baru kutahu gadis itu satu kelas denganku dan kami pun berkenalan.
"Hai.., terima kasih yah kemarin kamu menolongku. Gara-gara aku, kamu jadi kena masalah deh." Hey dia menyapaku duluan.
"Ah ndak kok, itu sih urusan kecil buatku", sambil tersenyum kusapa balik.
"Oh, yah kita belum berkenalan kemarin, nama kamu siapa?" Aku bertanya seolah aku belum tahu namanya. Hi.. hi.. padahal aku sudah tahu namanya dari senior-seniorku.
"Santi, kamu?" Duh mak, nih gadis benar-benar manis sekali, senyumnya aah.., apalagi matanya, bulat dengan alis yang tertata rapi berwarna hitam, serasi sekali
"Hey.. kamu kenapa?" Duh ketahuan kalau lagi terpana. Eh, nih anak pakaian dan celananya seksi and ketat sekali, mengundang perhatian cowok, pikirku. Beda sekali denganku, celana jeans belel dengan kemeja panjang kedodoran, potongan rambut pendek cepak dan memakai jam tangan yang besar. Pokoknya aku senang seperti ini, dulu aku terkenal cool di antara teman-teman cowok SMU-ku di Malang.
"Ah.. yah.. namaku Ratna, lengkapnya Dian Ratnasari. Tapi kamu boleh panggil aku apa saja, tapi Ratna lebih nikmat kedengarannya, he.. he.. he." Jadi grogi juga nih.
"Hmm.., kamu tinggal di mana?" tanyaku, siapa tahu kan nanti dia lebih rajin punya catatan, kan bisa kupinjam. Dasar otak nakal dan pemalas. Aku heran juga, dari kecil aku tidak suka belajar tapi aku bisa dengan mudah menerima apa pun dalam otakku. Bukannya sombong tapi yah.., cuma begitu saja.
Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri, ketika ia menegurku, "Ian, kamu duduk di sebelahku yah", pintanya. Aku hanya manggut-manggut saja mengiyakan sambil terus berjalan menuju kelas kami.
"Eh, kamu ini lucu juga yah, dari tadi senyum-senyum sendiri hihihi", ia tertawa kecil. Duh maak manisnya temanku ini.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar kegaduhan kecil, ternyata segerombolan cowok-cowok mengganggu dan mempermainkan salah seorang teman kami yang lebih kecil ukurannya dari mereka, mungkin sekitar 155 cm. Oh, yah aku sendiri 172 cm dan beratku 60 kg. Cukup tinggi besar untuk ukuran cewek kali, yah?
Lagi-lagi aku belagak nih, padahal memang tanganku gatal ingin meninju orang, habis sedang gregetan nih sama Santi. Kusambar salah satu cowok dan tendanganku sangat tepat bersarang di bawah perutnya, yah si-xx, tahu temannya menjerit, mereka berhenti dan memandangku. Ada kemarahan di wajah mereka, namun aku tidak tahu kenapa, mereka langsung ngeloyor pergi sambil membantu temannya berjalan. Akh, aku puas juga. Sejak saat itu, aku cukup disegani di kampusku, mungkin juga mereka telah membaca biodataku di buku tahunan.
Kembali menjajari Santi, aku bertanya lagi, "Eh, di mana rumah kamu?".
Dia tersenyum, "Kamu masih inget dengan pertanyaanmu setelah berkelahi barusan?", berkata begitu, tangannya menempel di pundakku dan turun menggandeng tanganku.
"Yah, sekali lagi, itu hal kecil buatku, habisnya mereka seenaknya mengganggu orang lain", gumamku sambil menikmati sentuhan alami lengan dan jari-jari kami yang saling mengait.
"Ah, sudahlah, jangan dibicarakan lagi".
Bosan juga aku, kan aku pingin tahu tentang anak satu ini eh, malah melenceng dari pokoknya.
"Aku tinggal di Taman Sari", jawabnya. Akhirnya meluncur juga jawabannya.
"Tinggal dengan siapa?", tanyaku agak bingung, maklum sendirian sih aku.
"Kost, ama teman-teman juga.., banyak kok", Ia menjawab sambil memilih tempat duduk untuk kami berdua. Ok, di pojok belakang, jadi aku bisa tidur nih.
"hh, boleh main nih, aku bosan sendirian di rumah", timpalku.
"Aksen kamu sepertinya bukan dari sini, kalau aku dari sekitar sini juga sih, kamu bukan orang sini, kan?", Ia balik bertanya padaku. "Iyah, aku bukan orang sini, tapi aku tinggal di rumah pamanku, sekalian jaga rumahnya."
Kuliah pertamaku dimulai, akh bosan rasanya. Tanpa sengaja tanganku merangkul kursi sebelah dan menempel di punggung Santi. Antara sadar dan tidak, maklum mengantuk, aku seperti merasakan gesekan halus di tangan kananku. Jantungku berdesir dan mulai berdegup kencang.
Kutengok, ternyata punggungnya benar-benar ia gesekkan ke tangan kananku hingga jamku pun tertarik ke atas-bawah, ke kanan-kiri, akhh aku mulai menikmati permainan ini. Bibirnya terbuka sedikit, ia menengadah dan lehernya yang jenjang kulihat sangat menantangku. Akh, aku ingin mengecupnya, duh aku bergetar. Ada apa ini?
Aku duduk dengan gelisah, akh dia mempermainkan nafsuku. Aduh bisa pening aku dibuatnya. Aku berdoa, semoga kuliah ini cepat selesai. Dengan sedikit keberanianku, Iih.., aku takut kalau ketahuan teman lain. Telapak tangan kananku mulai meraba dan meremas bahu dan terus turun ke punggung, pinggang, dan berhenti di antara dua kantong saku di belakang jeansnya. Ia mulai menggoyang pantatnya, geser depan-belakang, kanan-kiri. Kuremas salah satu pantatnya yang muat juga di tanganku. Hehehe ternyata cukup kecil, tapi kenyal, dan enaak sekali. Nafasku pun memburu dengan cepat. Akhh lamanya kuliah ini.
Akhirnya, kuliah selesai juga. Permainan kami pun berhenti. Aku tersenyum dan ia pun membalas senyumku dan mengajakku ke belakang (toilet wanita). Duh, gila juga Santi, apa orang sini berani-berani yah. Tanpa ba-bi-bu kuikuti langkahnya dan pokoknya kami sudah ada di dalam. Cukup sepi, karena terhitung masih pagi, belum ada yang ke belakang. Aku bersyukur juga. Lagian yang namanya makhluk berjenis kelamin perempuan tidak begitu banyak. Aku pikir-pikir cukuplah bermain 15 menit.
Aku duduk di closet dan dia kupangku. Kepalanya tepat di hadapanku. Kami hanya berjarak berapa inchi saja. Nafasnya yang hangat menyapu wajahku. Hidungnya yang agak mancung, ia gesek-gesekkan di hidungku, ih geli juga. Aku tidak tahan.
"Hey, I can lift you", sambil tersenyum ia berkata.
"Aku cuman 48 kok, San", sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kugendong ia dan aku duduk kembali. Ia tertawa lirih.
Tanganku terus meraba paha, terus ke belakang, meremas pantatnya ke atas menelusuri pinggang dan mulai menyelusup di balik kaus ketatnya, tiap gunung kembar itu teraba olehku nampak kausnya bertambah padat dan ia busungkan dadanya sambil menggeliat menahan nafsu birahinya, duh menempel di punyaku, menekan dan, "Terus.., lagi.., dan.." Aku tak sabar, kubuka kaus ketatnya dan gila, Santi benar-benar berbody indah, aku merasa yang di bawah mulai berdenyut-denyut. Bra-nya yang putih kecil, seakan tak mampu menutupinya, kubuka sekalian, dan nampaklah gunung itu atau bisa dikata bukit sajalah. Kecil dan menantang, kuelus dan kujilati, akh harum, keringatnya mulai keluar satu-satu agak asin. Akh, aku semakin gila. Kuremas pantatnya, kutekan ke selangkanganku, akh ia meremas rambutku dan menekan kepalaku tepat di belahan itu. Akhh! ia mulai menjepit kepalaku, akhh aku hampir tak bisa bernafas. Gila kencang sekali mainnya! Kecil-kecil cabe rawit. Duh, nafasku sesak nih. Sambil terus kutekan pantatnya ke perutku.
Akh, lepas juga kepalaku setelah itu ia menjerit pelan, kaget juga aku, kenapa dia? Baru sekali ini aku melakukan permainan kait-mengait. Apalagi dengan seorang gadis. Eeh, apa dia masih gadis? Entar kutanya, tapi mataku sempat melirik jam tanganku dan aku mengerti permainan ini harus ditunda, ada kuliah lagi.
Kukecup lembut dan lidahku masih ingin melumat kedua bukit itu, kupasang kembali bra dan kaus ketatnya.
"Entar lagi, yah", kataku, ia tersenyum.
"Makasih, Yan".
Kutepuk-tepuk pantatnya dan segera kuputuskan.
"San.., kamu mau pindah ke rumahku?", tanpa pikir panjang juga ia mengangguk. Kuturunkan dia dan aku merasa CD-ku seperti lembab dan lengket.
"San, entar dulu yah", sambil kubuka retsluiting celanaku dan kuraba yang di balik CD-ku yaitu selangkanganku. Jariku basah seperti ada jelly. Ada apa nih? Seketika kubuka agak lebar dan aku melongok untuk melihatnya lebih jelas. Santi meraih jariku yang basah dan menghirup serta menjilatinya, "Enak, asin, gurih, harum selangit!" terpana aku melihat mulutnya yang bergetar ketika menggumamkan kata-kata itu.
Tangannya menuntunku memasuki celana ketatnya dan terus ke bawah dan di balik CD-nya, basah juga. Kenapa kami, yah? Bingung juga yah aku waktu itu. Hehehe, aku mulai menyukai permainan ini. Telapak tanganku ternyata cukup menutupi selangkangannya, ia gesek-gesekkan dan aku mulai menekan kemaluannya, jari tengahku mulai bermain-main kesana-kemari. Kembali Santi menggeliat dan mengerang lirih. Duh, apa toilet ini memang kosong yah? Gila juga nih anak, pakai acara mengerang segala apalagi pakai menjerit.
Eh, seakan ia tahu apa yang kupikir, ia berhenti dan hanya menggigit bibirnya. Aku tidak tahan, kulumat lagi bibirnya dan kubuka pelan dengan mulutku, dan kami berpagutan lagi. Lidahku dan lidahnya berkaitan dan lama. Matanya terpejam dan akh.., aku menemukan daging kecil di dalam, jariku menerobos dan mulai masuk sedikit.
Tiba-tiba meluncur pertanyaan di otakku, refleks kukatakan padanya, "San, kamu pernah melakukan beginian?".
Ia menjawab pelan, "Belum, Yan.., baru sama kamu."
"Jadi kamu masih gadis, masih punya selaput?", kataku.
"Iya, masih. Pelan aja Yan entar sakit."
"Maaf, San. Lebih baik nggak sekarang, ada kuliah kan."
Kulihat Santi kecewa, tapi demi amannya saja sih, padahal sungguh aku bodoh sekali pelajaran biologi, jadi aku tidak tahu berapa jarak selaput itu dari luar vagina. Kutarik jariku dan ia pun menjilatinya sampai bersih. Ok, entar lagi. Nikmat juga jilatannya.
Singkat cerita, Santi pindah ke rumah tinggalku dan dia tak mau beda kamar. Inginnya satu kamar denganku. Yah, tidak apa-apa sih, lumayan ada yang menemani. Aku memiliki kebiasaan bermain gitar di sore hari, karena hanya gitar yang bisa kumainkan. Kini tiap kali aku mainkan senar gitar Santi selalu menyanyi merdu hanya untukku seorang. Terkadang aku duduk di kursi malas beranda luar menghadap taman dalam. Santi datang dan duduk mengangkangi kedua kakiku. Ia suka sekali memakai daster pendek di atas lutut dengan CD yang terlihat bila angin bertiup agak kencang atau ketika ia mengangkat kakinya. Pokoknya hal-hal mudah seperti itu sudah cukup merangsang nafsuku. Apalagi bila malam tiba, Santi memakai kimono sutra yang sekali talinya kubuka, nampaklah semuanya.
Tiap malam ia membuatkan aku susu kegemaranku. Saat aku asyik duduk di komputer sedang online atau mengerjakan tugas, Santi menghampiriku dan menempel di punggungku. Hal ini sangat kusukai dan Santi tahu itu. Aku merasakan lekukan bibir kemaluannya, bukitnya dan ia menempelkannya, merenggangkannya akhh.., mengaduk-aduk emosiku. Segera aku membalikkan badanku. Kurengkuh tubuhnya dan kukempit kakinya dengan kedua pahaku yang kuat, kadang Santi meronta dan aku pun melepaskannya, biasa kami berlarian seperti dua orang kakak beradik bermain kejar dan tangkap. Aku sungguh menyukai permainan ini. Kadang Santi tiba-tiba mengerem dan membalikkan tubuhnya dan tentu saja aku menubruknya dan jatuh bersama bergulingan saling menindih. Nafas kami yang tak beraturan karena berlari-lari saling memburu dengan kecupan-kecupan yang semakin menambah ketidakberaturannya nafas kami. Buah dada kami saling menggesek dan, "Berat ah.. Yan", aku lalu dengan sigap ganti posisi di bawah, dan ia menyeringai puas karena Santi sangat tahu aku sangat menyayanginya dan tidak mau ia merasa sakit atau apapun. Dan mau tahu apa yang ia lakukan tiap itu terjadi? Santi mengambil susu itu dan menuangkannya di vaginanya dan aku menjilatinya hingga kepuasan yang amat sangat pada kami berdua. Coba saja deh atau kalau siang bisa saja pakai es sirup, dengan dingin yang mengalir pelan rasakan.
Kami saling menjaga, menyayangi, dan berusaha memberikan kepuasan. Namun pernah suatu ketika ia sakit demam, duh aku bingung sekali. Kukompres ia kalau panas dan kuselimuti ia sewaktu dingin menyerangnya. Tapi ia tak mau selimut, ia mau tubuhku menyelimutinya dan sekali lagi ia sangat tahu kalau aku benar-benar hanya bertindak sebagai penghangat tubuhnya dengan kekhawatiran di wajahku yang sangat dihafalnya. Santi sangat menyukai sikapku yang melindungi dan menyayanginya. Sikap yang dapat membedakan kapan bermain dan kapan harus menjaga dan merawat.
Santi sangat akrab dengan keluargaku, begitu juga aku. Keluarganya dan keluargaku telah saling mengenal dan tidak mempermasalahkan hubungan kami. Aku bungsu dari empat bersaudara, kupunya 1 orang kakak laki-laki dan 2 kakak perempuan sedangkan Santi sulung dari tiga bersaudara, 1 orang adik perempuan dan 1 orang adik laki-laki. Kemana pun kami selalu berdua, ke supermarket beli bahan kebutuhan sehari-hari, ke mall untuk cari pakaian atau keperluan lain, ke toko-toko buku, ke bioskop buat nonton, dan lain-lain kecuali kalau aku dan ia sedang memiliki aktivitas yang berbeda. Aku senang berorganisasi dan berolah raga sedangkan ia suka melukis dan bermain musik.
Dini hari saat fajar tiba, sambil tidur aku selalu merasakan sesuatu yang berdenyut di bawah dan refleks aku menempel lekat ke tubuhnya, entah itu punggung dengan sentuhan pantat hangatnya atau langsung perut dengan bukit kembar dan selangkangan yang mengaitku. Santi mengerti kebiasaanku di setiap fajar dini hari dan kami pun saling menggesek.
Sekali merengkuh tubuhnya, ia jatuh menindihku dan berbaring tiduran di tubuhku. Enak katanya, merasakan pelukanku yang hangat, maklum kota ini lumayan dingin. Pokoknya kami melakukan itu kapan saja. Tidak ada bosan-bosannya, soalnya kami mulai ahli sih. Kami mengubah posisi setiap kali mulai bosan dan yahud juga!
Aku mulai mengerti apa yang namanya liang garba itu. Wah, indah sekali, berapa jarak selaputnya, apa itu clitoris, dan perlu dicatat, sampai kini selaput itu belum robek. Aku tidak mau kalau ia sakit, jadi mulutku hanya mengecup, mengulum dan lidahku menjilati agak ke dalam. Ia sangat menyenangi posisi di atas dan aku di bawah. Terkadang aku bertahan cukup lama, kasihan Santi sudah 2-3 kali keluar baru aku keluar. Kalau aku tentu saja suka posisi kaki saling mengait dan selangkangan kami saling menempel dan bergesek semakin kencang, jadi kami bisa orgasme bersama. Tahu kan caranya. Begini, kuangkat kaki kirinya, kuselipkan kaki kiriku, dan kedua kaki kami saling membelit. Posisi ini menyebabkan cairan kental dari kedua kemaluan kami yang keluar bersamaan bercampur dan euunaak sekali. Kadang dengan cara ini Santi sudah sangat kewalahan mengatur nafas, memekik dan menggeliat kencang, tempat tidurku pun berantakan tiap kali kami main di kamar. Perlu dicatat, selesai permainan dan mandi, tempat tidurku kembali sangat rapi karena Santi orang yang sangat rajin dan menjaga kebersihan. Tidak sepertiku, ceroboh.
Kalau di dapur saat ia memasak aku merengkuhnya dan mengecup lembut lehernya serasa kami sepasang suami istri selayaknya, mendudukkannya di meja dan biasa aku rentangkan kedua paha itu dan mulai mencumbuinya, kubuka celanaku dan kugesekkan CD-ku ke CD-nya. Enak lho. Kalau kami bermain di kamar mandi, yah seperti dua anak kecil yang berteriak-teriak kegirangan saling menyiram tempat-tempat sensitif yang sudah sangat kami hapal sambil menciumi tempat-tempat itu. Bath-up yang sudah mulai terisi dengan busa sabun kuoleskan ke seluruh tubuhnya, terutama di-xx-nya, pelan karena aku takut kalau ada apa-apa. Santi senang sekali telentang di atas tubuhku, "Nyaman, Yan?" katanya sambil mencari di mana pinggangku. Kupeluk erat ia, kurasakan gunungku menekan punggungnya dan satu hal aku nggak senang posisi ketika ia membalikkan badannya tepat ke arahku (di bath-up). Pernah ia coba dan aku tidak enjoy melihat kesulitannya mencumbuiku.
Permainan di beranda pun kami buat berbeda, seperti sepasang kekasih yang tenang saling membelai dan menata taman sambil tiduran di luar, kami sangat menikmati tidur di atas rumput yang lembut. Cuma kadang aku sangat risih melihat semut. Jadi kami nggak begitu memaksakan diri tiduran di taman. Atau aku cemburu dan takut sama semut, kalau-kalau semut itu memasuki area xx dan menggigit vagina kekasihku. Akhh kan kasihan Santi hanya bisa meringis kesakitan. Nah, kalau yang ini, di tempat tidur kami seperti dua orang gila yang selalu tergila-gila. Banyak posisi yang kami lakukan, pasti kalau dapat dengan alami melakukanya. Intinya cuma satu, ikuti kata hati, kalau mau stop ya stop, mau nge-sun, sun saja, mau membelai, belai aja, kalau mau maju yah maju, kalau mau ganti yah ganti posisi, begitu saja, sepele. Dan seperti telah menjadi suatu kewajiban bagi Santi untuk selalu membersihkan punyaku dan aku begitu juga, menjilati dan saling menghangati kedua vagina kami dengan telapak tangan yang saling kami selipkan di antara kedua paha kami dan hehehehe. Hangat kan, coba deh.
Pernah suatu ketika aku berkonsultasi ke seorang ahli dan beliaunya menjawab kalau aku sebenarnya termasuk transexsual, berjiwa dan bertingkah laku laki-laki namun tubuh wanita, jadinya setengah-setengah dengan hormon yang lebih banyak jenis laki-laki. Yang umum sih salah satu lebih besar dan mengikuti hormon kelaminnya. Kalau aku mau, kata beliaunya bisa saja bedah kelamin. Tapi biaya yang dikeluarkan pun sangat besar. Yah, sudahlah aku seperti ini saja. Dan selama ini Santi selalu mendampingiku entah sampai kapan. Sudah dua tahun ini aku nyambi bekerja di kontraktor dan aku menikmatinya. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku sebenarnya sanggup menghidupi kami berdua dengan 3 orang sekaligus, misalnya. Mungkin selesai kuliah ini, selesai semuanya. Aku pernah tanyakan kepadanya dan ia hanya tersenyum saja. Ia berkata "Yan, jangan pikir sekarang, apa yang terjadi besok adalah misteri bagi kita semua, kecuali hal-hal yang telah kita persiapkan", dan kalian tahu sampai saat ini aku belum tahu apa maksud dari perkataannya.
TAMAT
Berawal dari inisiasi dan orientasi kampus yang dilakukan kakak-kakak tingkatanku, aku berkenalan dengan seorang teman gadis bernama Santi. Gadis yang manis, dengan tinggi sekitar 160 cm, berkulit kuning langsat. Waktu itu, aku sangat kasihan kalau melihat ia menerima hukuman yang menurutku sangat dibuat-buat oleh seniorku. Disuruh mencium-lah, meraba, dan push-up di bawah mereka. Akh.. sialan, seribu topan badai! Aku sungguh tidak terima dan biasa gaya sok jagoanku muncul. Kudekati seniorku dan kuhajar dengan beberapa jurus perkenalan dariku. Yah, gini-gini aku cukup menguasai karate dan pencak silat, menyerang dan bertahan, dua hal yang sangat kusenangi. Maklumlah aku suka berkelahi dari kecil.
Beberapa senior pun mulai mengeroyokku. Sambil tentu saja, terjatuh-jatuh menerima tendangan dan libatan tanganku. Apa hendak dikata salah satu senior, yah mungkin ia termasuk pimpinan mahasiswa di kampusku melerai kami dan memberi hukuman pada kami semua. Lari-lari mengitari kampus sambil menyanyi dan menari, dasar!
But never mind, yang terpenting gadis manis itu tidak lagi digoda dan diganggu. Mungkin mereka malu atau takut kalau selesai masa yang harus dilalui mahasiswa baru ini bakal ketemu aku dan bisa benar-benar kuhajar mereka. Bagaimanapun yang lemah harus dibela.
Seminggu kemuRatna, baru kutahu gadis itu satu kelas denganku dan kami pun berkenalan.
"Hai.., terima kasih yah kemarin kamu menolongku. Gara-gara aku, kamu jadi kena masalah deh." Hey dia menyapaku duluan.
"Ah ndak kok, itu sih urusan kecil buatku", sambil tersenyum kusapa balik.
"Oh, yah kita belum berkenalan kemarin, nama kamu siapa?" Aku bertanya seolah aku belum tahu namanya. Hi.. hi.. padahal aku sudah tahu namanya dari senior-seniorku.
"Santi, kamu?" Duh mak, nih gadis benar-benar manis sekali, senyumnya aah.., apalagi matanya, bulat dengan alis yang tertata rapi berwarna hitam, serasi sekali
"Hey.. kamu kenapa?" Duh ketahuan kalau lagi terpana. Eh, nih anak pakaian dan celananya seksi and ketat sekali, mengundang perhatian cowok, pikirku. Beda sekali denganku, celana jeans belel dengan kemeja panjang kedodoran, potongan rambut pendek cepak dan memakai jam tangan yang besar. Pokoknya aku senang seperti ini, dulu aku terkenal cool di antara teman-teman cowok SMU-ku di Malang.
"Ah.. yah.. namaku Ratna, lengkapnya Dian Ratnasari. Tapi kamu boleh panggil aku apa saja, tapi Ratna lebih nikmat kedengarannya, he.. he.. he." Jadi grogi juga nih.
"Hmm.., kamu tinggal di mana?" tanyaku, siapa tahu kan nanti dia lebih rajin punya catatan, kan bisa kupinjam. Dasar otak nakal dan pemalas. Aku heran juga, dari kecil aku tidak suka belajar tapi aku bisa dengan mudah menerima apa pun dalam otakku. Bukannya sombong tapi yah.., cuma begitu saja.
Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri, ketika ia menegurku, "Ian, kamu duduk di sebelahku yah", pintanya. Aku hanya manggut-manggut saja mengiyakan sambil terus berjalan menuju kelas kami.
"Eh, kamu ini lucu juga yah, dari tadi senyum-senyum sendiri hihihi", ia tertawa kecil. Duh maak manisnya temanku ini.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar kegaduhan kecil, ternyata segerombolan cowok-cowok mengganggu dan mempermainkan salah seorang teman kami yang lebih kecil ukurannya dari mereka, mungkin sekitar 155 cm. Oh, yah aku sendiri 172 cm dan beratku 60 kg. Cukup tinggi besar untuk ukuran cewek kali, yah?
Lagi-lagi aku belagak nih, padahal memang tanganku gatal ingin meninju orang, habis sedang gregetan nih sama Santi. Kusambar salah satu cowok dan tendanganku sangat tepat bersarang di bawah perutnya, yah si-xx, tahu temannya menjerit, mereka berhenti dan memandangku. Ada kemarahan di wajah mereka, namun aku tidak tahu kenapa, mereka langsung ngeloyor pergi sambil membantu temannya berjalan. Akh, aku puas juga. Sejak saat itu, aku cukup disegani di kampusku, mungkin juga mereka telah membaca biodataku di buku tahunan.
Kembali menjajari Santi, aku bertanya lagi, "Eh, di mana rumah kamu?".
Dia tersenyum, "Kamu masih inget dengan pertanyaanmu setelah berkelahi barusan?", berkata begitu, tangannya menempel di pundakku dan turun menggandeng tanganku.
"Yah, sekali lagi, itu hal kecil buatku, habisnya mereka seenaknya mengganggu orang lain", gumamku sambil menikmati sentuhan alami lengan dan jari-jari kami yang saling mengait.
"Ah, sudahlah, jangan dibicarakan lagi".
Bosan juga aku, kan aku pingin tahu tentang anak satu ini eh, malah melenceng dari pokoknya.
"Aku tinggal di Taman Sari", jawabnya. Akhirnya meluncur juga jawabannya.
"Tinggal dengan siapa?", tanyaku agak bingung, maklum sendirian sih aku.
"Kost, ama teman-teman juga.., banyak kok", Ia menjawab sambil memilih tempat duduk untuk kami berdua. Ok, di pojok belakang, jadi aku bisa tidur nih.
"hh, boleh main nih, aku bosan sendirian di rumah", timpalku.
"Aksen kamu sepertinya bukan dari sini, kalau aku dari sekitar sini juga sih, kamu bukan orang sini, kan?", Ia balik bertanya padaku. "Iyah, aku bukan orang sini, tapi aku tinggal di rumah pamanku, sekalian jaga rumahnya."
Kuliah pertamaku dimulai, akh bosan rasanya. Tanpa sengaja tanganku merangkul kursi sebelah dan menempel di punggung Santi. Antara sadar dan tidak, maklum mengantuk, aku seperti merasakan gesekan halus di tangan kananku. Jantungku berdesir dan mulai berdegup kencang.
Kutengok, ternyata punggungnya benar-benar ia gesekkan ke tangan kananku hingga jamku pun tertarik ke atas-bawah, ke kanan-kiri, akhh aku mulai menikmati permainan ini. Bibirnya terbuka sedikit, ia menengadah dan lehernya yang jenjang kulihat sangat menantangku. Akh, aku ingin mengecupnya, duh aku bergetar. Ada apa ini?
Aku duduk dengan gelisah, akh dia mempermainkan nafsuku. Aduh bisa pening aku dibuatnya. Aku berdoa, semoga kuliah ini cepat selesai. Dengan sedikit keberanianku, Iih.., aku takut kalau ketahuan teman lain. Telapak tangan kananku mulai meraba dan meremas bahu dan terus turun ke punggung, pinggang, dan berhenti di antara dua kantong saku di belakang jeansnya. Ia mulai menggoyang pantatnya, geser depan-belakang, kanan-kiri. Kuremas salah satu pantatnya yang muat juga di tanganku. Hehehe ternyata cukup kecil, tapi kenyal, dan enaak sekali. Nafasku pun memburu dengan cepat. Akhh lamanya kuliah ini.
Akhirnya, kuliah selesai juga. Permainan kami pun berhenti. Aku tersenyum dan ia pun membalas senyumku dan mengajakku ke belakang (toilet wanita). Duh, gila juga Santi, apa orang sini berani-berani yah. Tanpa ba-bi-bu kuikuti langkahnya dan pokoknya kami sudah ada di dalam. Cukup sepi, karena terhitung masih pagi, belum ada yang ke belakang. Aku bersyukur juga. Lagian yang namanya makhluk berjenis kelamin perempuan tidak begitu banyak. Aku pikir-pikir cukuplah bermain 15 menit.
Aku duduk di closet dan dia kupangku. Kepalanya tepat di hadapanku. Kami hanya berjarak berapa inchi saja. Nafasnya yang hangat menyapu wajahku. Hidungnya yang agak mancung, ia gesek-gesekkan di hidungku, ih geli juga. Aku tidak tahan.
"Hey, I can lift you", sambil tersenyum ia berkata.
"Aku cuman 48 kok, San", sambil melingkarkan lengannya di leherku. Kugendong ia dan aku duduk kembali. Ia tertawa lirih.
Tanganku terus meraba paha, terus ke belakang, meremas pantatnya ke atas menelusuri pinggang dan mulai menyelusup di balik kaus ketatnya, tiap gunung kembar itu teraba olehku nampak kausnya bertambah padat dan ia busungkan dadanya sambil menggeliat menahan nafsu birahinya, duh menempel di punyaku, menekan dan, "Terus.., lagi.., dan.." Aku tak sabar, kubuka kaus ketatnya dan gila, Santi benar-benar berbody indah, aku merasa yang di bawah mulai berdenyut-denyut. Bra-nya yang putih kecil, seakan tak mampu menutupinya, kubuka sekalian, dan nampaklah gunung itu atau bisa dikata bukit sajalah. Kecil dan menantang, kuelus dan kujilati, akh harum, keringatnya mulai keluar satu-satu agak asin. Akh, aku semakin gila. Kuremas pantatnya, kutekan ke selangkanganku, akh ia meremas rambutku dan menekan kepalaku tepat di belahan itu. Akhh! ia mulai menjepit kepalaku, akhh aku hampir tak bisa bernafas. Gila kencang sekali mainnya! Kecil-kecil cabe rawit. Duh, nafasku sesak nih. Sambil terus kutekan pantatnya ke perutku.
Akh, lepas juga kepalaku setelah itu ia menjerit pelan, kaget juga aku, kenapa dia? Baru sekali ini aku melakukan permainan kait-mengait. Apalagi dengan seorang gadis. Eeh, apa dia masih gadis? Entar kutanya, tapi mataku sempat melirik jam tanganku dan aku mengerti permainan ini harus ditunda, ada kuliah lagi.
Kukecup lembut dan lidahku masih ingin melumat kedua bukit itu, kupasang kembali bra dan kaus ketatnya.
"Entar lagi, yah", kataku, ia tersenyum.
"Makasih, Yan".
Kutepuk-tepuk pantatnya dan segera kuputuskan.
"San.., kamu mau pindah ke rumahku?", tanpa pikir panjang juga ia mengangguk. Kuturunkan dia dan aku merasa CD-ku seperti lembab dan lengket.
"San, entar dulu yah", sambil kubuka retsluiting celanaku dan kuraba yang di balik CD-ku yaitu selangkanganku. Jariku basah seperti ada jelly. Ada apa nih? Seketika kubuka agak lebar dan aku melongok untuk melihatnya lebih jelas. Santi meraih jariku yang basah dan menghirup serta menjilatinya, "Enak, asin, gurih, harum selangit!" terpana aku melihat mulutnya yang bergetar ketika menggumamkan kata-kata itu.
Tangannya menuntunku memasuki celana ketatnya dan terus ke bawah dan di balik CD-nya, basah juga. Kenapa kami, yah? Bingung juga yah aku waktu itu. Hehehe, aku mulai menyukai permainan ini. Telapak tanganku ternyata cukup menutupi selangkangannya, ia gesek-gesekkan dan aku mulai menekan kemaluannya, jari tengahku mulai bermain-main kesana-kemari. Kembali Santi menggeliat dan mengerang lirih. Duh, apa toilet ini memang kosong yah? Gila juga nih anak, pakai acara mengerang segala apalagi pakai menjerit.
Eh, seakan ia tahu apa yang kupikir, ia berhenti dan hanya menggigit bibirnya. Aku tidak tahan, kulumat lagi bibirnya dan kubuka pelan dengan mulutku, dan kami berpagutan lagi. Lidahku dan lidahnya berkaitan dan lama. Matanya terpejam dan akh.., aku menemukan daging kecil di dalam, jariku menerobos dan mulai masuk sedikit.
Tiba-tiba meluncur pertanyaan di otakku, refleks kukatakan padanya, "San, kamu pernah melakukan beginian?".
Ia menjawab pelan, "Belum, Yan.., baru sama kamu."
"Jadi kamu masih gadis, masih punya selaput?", kataku.
"Iya, masih. Pelan aja Yan entar sakit."
"Maaf, San. Lebih baik nggak sekarang, ada kuliah kan."
Kulihat Santi kecewa, tapi demi amannya saja sih, padahal sungguh aku bodoh sekali pelajaran biologi, jadi aku tidak tahu berapa jarak selaput itu dari luar vagina. Kutarik jariku dan ia pun menjilatinya sampai bersih. Ok, entar lagi. Nikmat juga jilatannya.
Singkat cerita, Santi pindah ke rumah tinggalku dan dia tak mau beda kamar. Inginnya satu kamar denganku. Yah, tidak apa-apa sih, lumayan ada yang menemani. Aku memiliki kebiasaan bermain gitar di sore hari, karena hanya gitar yang bisa kumainkan. Kini tiap kali aku mainkan senar gitar Santi selalu menyanyi merdu hanya untukku seorang. Terkadang aku duduk di kursi malas beranda luar menghadap taman dalam. Santi datang dan duduk mengangkangi kedua kakiku. Ia suka sekali memakai daster pendek di atas lutut dengan CD yang terlihat bila angin bertiup agak kencang atau ketika ia mengangkat kakinya. Pokoknya hal-hal mudah seperti itu sudah cukup merangsang nafsuku. Apalagi bila malam tiba, Santi memakai kimono sutra yang sekali talinya kubuka, nampaklah semuanya.
Tiap malam ia membuatkan aku susu kegemaranku. Saat aku asyik duduk di komputer sedang online atau mengerjakan tugas, Santi menghampiriku dan menempel di punggungku. Hal ini sangat kusukai dan Santi tahu itu. Aku merasakan lekukan bibir kemaluannya, bukitnya dan ia menempelkannya, merenggangkannya akhh.., mengaduk-aduk emosiku. Segera aku membalikkan badanku. Kurengkuh tubuhnya dan kukempit kakinya dengan kedua pahaku yang kuat, kadang Santi meronta dan aku pun melepaskannya, biasa kami berlarian seperti dua orang kakak beradik bermain kejar dan tangkap. Aku sungguh menyukai permainan ini. Kadang Santi tiba-tiba mengerem dan membalikkan tubuhnya dan tentu saja aku menubruknya dan jatuh bersama bergulingan saling menindih. Nafas kami yang tak beraturan karena berlari-lari saling memburu dengan kecupan-kecupan yang semakin menambah ketidakberaturannya nafas kami. Buah dada kami saling menggesek dan, "Berat ah.. Yan", aku lalu dengan sigap ganti posisi di bawah, dan ia menyeringai puas karena Santi sangat tahu aku sangat menyayanginya dan tidak mau ia merasa sakit atau apapun. Dan mau tahu apa yang ia lakukan tiap itu terjadi? Santi mengambil susu itu dan menuangkannya di vaginanya dan aku menjilatinya hingga kepuasan yang amat sangat pada kami berdua. Coba saja deh atau kalau siang bisa saja pakai es sirup, dengan dingin yang mengalir pelan rasakan.
Kami saling menjaga, menyayangi, dan berusaha memberikan kepuasan. Namun pernah suatu ketika ia sakit demam, duh aku bingung sekali. Kukompres ia kalau panas dan kuselimuti ia sewaktu dingin menyerangnya. Tapi ia tak mau selimut, ia mau tubuhku menyelimutinya dan sekali lagi ia sangat tahu kalau aku benar-benar hanya bertindak sebagai penghangat tubuhnya dengan kekhawatiran di wajahku yang sangat dihafalnya. Santi sangat menyukai sikapku yang melindungi dan menyayanginya. Sikap yang dapat membedakan kapan bermain dan kapan harus menjaga dan merawat.
Santi sangat akrab dengan keluargaku, begitu juga aku. Keluarganya dan keluargaku telah saling mengenal dan tidak mempermasalahkan hubungan kami. Aku bungsu dari empat bersaudara, kupunya 1 orang kakak laki-laki dan 2 kakak perempuan sedangkan Santi sulung dari tiga bersaudara, 1 orang adik perempuan dan 1 orang adik laki-laki. Kemana pun kami selalu berdua, ke supermarket beli bahan kebutuhan sehari-hari, ke mall untuk cari pakaian atau keperluan lain, ke toko-toko buku, ke bioskop buat nonton, dan lain-lain kecuali kalau aku dan ia sedang memiliki aktivitas yang berbeda. Aku senang berorganisasi dan berolah raga sedangkan ia suka melukis dan bermain musik.
Dini hari saat fajar tiba, sambil tidur aku selalu merasakan sesuatu yang berdenyut di bawah dan refleks aku menempel lekat ke tubuhnya, entah itu punggung dengan sentuhan pantat hangatnya atau langsung perut dengan bukit kembar dan selangkangan yang mengaitku. Santi mengerti kebiasaanku di setiap fajar dini hari dan kami pun saling menggesek.
Sekali merengkuh tubuhnya, ia jatuh menindihku dan berbaring tiduran di tubuhku. Enak katanya, merasakan pelukanku yang hangat, maklum kota ini lumayan dingin. Pokoknya kami melakukan itu kapan saja. Tidak ada bosan-bosannya, soalnya kami mulai ahli sih. Kami mengubah posisi setiap kali mulai bosan dan yahud juga!
Aku mulai mengerti apa yang namanya liang garba itu. Wah, indah sekali, berapa jarak selaputnya, apa itu clitoris, dan perlu dicatat, sampai kini selaput itu belum robek. Aku tidak mau kalau ia sakit, jadi mulutku hanya mengecup, mengulum dan lidahku menjilati agak ke dalam. Ia sangat menyenangi posisi di atas dan aku di bawah. Terkadang aku bertahan cukup lama, kasihan Santi sudah 2-3 kali keluar baru aku keluar. Kalau aku tentu saja suka posisi kaki saling mengait dan selangkangan kami saling menempel dan bergesek semakin kencang, jadi kami bisa orgasme bersama. Tahu kan caranya. Begini, kuangkat kaki kirinya, kuselipkan kaki kiriku, dan kedua kaki kami saling membelit. Posisi ini menyebabkan cairan kental dari kedua kemaluan kami yang keluar bersamaan bercampur dan euunaak sekali. Kadang dengan cara ini Santi sudah sangat kewalahan mengatur nafas, memekik dan menggeliat kencang, tempat tidurku pun berantakan tiap kali kami main di kamar. Perlu dicatat, selesai permainan dan mandi, tempat tidurku kembali sangat rapi karena Santi orang yang sangat rajin dan menjaga kebersihan. Tidak sepertiku, ceroboh.
Kalau di dapur saat ia memasak aku merengkuhnya dan mengecup lembut lehernya serasa kami sepasang suami istri selayaknya, mendudukkannya di meja dan biasa aku rentangkan kedua paha itu dan mulai mencumbuinya, kubuka celanaku dan kugesekkan CD-ku ke CD-nya. Enak lho. Kalau kami bermain di kamar mandi, yah seperti dua anak kecil yang berteriak-teriak kegirangan saling menyiram tempat-tempat sensitif yang sudah sangat kami hapal sambil menciumi tempat-tempat itu. Bath-up yang sudah mulai terisi dengan busa sabun kuoleskan ke seluruh tubuhnya, terutama di-xx-nya, pelan karena aku takut kalau ada apa-apa. Santi senang sekali telentang di atas tubuhku, "Nyaman, Yan?" katanya sambil mencari di mana pinggangku. Kupeluk erat ia, kurasakan gunungku menekan punggungnya dan satu hal aku nggak senang posisi ketika ia membalikkan badannya tepat ke arahku (di bath-up). Pernah ia coba dan aku tidak enjoy melihat kesulitannya mencumbuiku.
Permainan di beranda pun kami buat berbeda, seperti sepasang kekasih yang tenang saling membelai dan menata taman sambil tiduran di luar, kami sangat menikmati tidur di atas rumput yang lembut. Cuma kadang aku sangat risih melihat semut. Jadi kami nggak begitu memaksakan diri tiduran di taman. Atau aku cemburu dan takut sama semut, kalau-kalau semut itu memasuki area xx dan menggigit vagina kekasihku. Akhh kan kasihan Santi hanya bisa meringis kesakitan. Nah, kalau yang ini, di tempat tidur kami seperti dua orang gila yang selalu tergila-gila. Banyak posisi yang kami lakukan, pasti kalau dapat dengan alami melakukanya. Intinya cuma satu, ikuti kata hati, kalau mau stop ya stop, mau nge-sun, sun saja, mau membelai, belai aja, kalau mau maju yah maju, kalau mau ganti yah ganti posisi, begitu saja, sepele. Dan seperti telah menjadi suatu kewajiban bagi Santi untuk selalu membersihkan punyaku dan aku begitu juga, menjilati dan saling menghangati kedua vagina kami dengan telapak tangan yang saling kami selipkan di antara kedua paha kami dan hehehehe. Hangat kan, coba deh.
Pernah suatu ketika aku berkonsultasi ke seorang ahli dan beliaunya menjawab kalau aku sebenarnya termasuk transexsual, berjiwa dan bertingkah laku laki-laki namun tubuh wanita, jadinya setengah-setengah dengan hormon yang lebih banyak jenis laki-laki. Yang umum sih salah satu lebih besar dan mengikuti hormon kelaminnya. Kalau aku mau, kata beliaunya bisa saja bedah kelamin. Tapi biaya yang dikeluarkan pun sangat besar. Yah, sudahlah aku seperti ini saja. Dan selama ini Santi selalu mendampingiku entah sampai kapan. Sudah dua tahun ini aku nyambi bekerja di kontraktor dan aku menikmatinya. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku sebenarnya sanggup menghidupi kami berdua dengan 3 orang sekaligus, misalnya. Mungkin selesai kuliah ini, selesai semuanya. Aku pernah tanyakan kepadanya dan ia hanya tersenyum saja. Ia berkata "Yan, jangan pikir sekarang, apa yang terjadi besok adalah misteri bagi kita semua, kecuali hal-hal yang telah kita persiapkan", dan kalian tahu sampai saat ini aku belum tahu apa maksud dari perkataannya.
TAMAT
Subscribe to:
Posts (Atom)